Selasa, 22 November 2011

PENGEMBANGAN PRODUK UNGGULAN IKAN LELE

 
 
PENDAHULUAN

Indonesia dikenal sebagai negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia, dengan luas perairan laut sekitar 5,8 juta km² persegi (75% dari total wilayah Indonesia) yang terdiri dari 0,3 juta km² perairan laut teritorial; 2,8 juta km² perairan laut Nusantara; dan 2,7 juta km² laut Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Sedangkan luas wilayah daratan adalah 1,9 juta km² (25% dari total wilayah Indonesia). Sementara itu, di dalam wilayah daratan tersebut terdapat perairan umum (sungai, rawa, dan waduk) seluas 54 juta ha atau 0,54 juta km² (27% dari total wilayah daratan Indonesia).

Berdasarkan data pada Pusat Data, Statistik dan Informasi Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, diketahui bahwa pada tahun 2004 devisa yang disumbangkan dari ekspor hasil perikanan (perikanan laut dan perikanan darat) mencapai 1,78 milyar dolar AS dengan volume ekspor sebesar 902.358 ton. Sementara perolehan devisa dari ekspor hasil perikanan pada tahun yang sama mencapai 2,4 milyar dolar AS dengan volume ekspor 1,21 juta ton. Untuk periode Januari-Mei 2005 terjadi peningkatan nilai ekspor sebesar 37,16% dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2004. Periode Januari-September 2005 nilai ekspor hasil perikanan mencapai 1,60 milyar dolar AS. Ini artinya nilai ekspor hasil perikanan sampai akhir tahun 2005 lebih tinggi jika dibandingkan tahun 2004. Nilai ekspor hasil perikanan tahun 2005 selama periode bulan Januari-Mei saja mencapai 47.072 juta dolar AS. Neraca perdagangan hasil perikanan pada tahun 2005 mencapai surplus sebesar 741.338 juta dolar AS atau mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2004 yaitu sebesar 39,91%.

Pada lingkup lokal di beberapa provinsi maupun kabupaten/kota di Indonesia kondisi yang terjadi juga relatif sama. Sebagai contoh yang terjadi di Kabupaten Ponorogo dan sekitarnya sebagai salah satu daerah penghasil ikan yang relatif besar di Indonesia. Di Kabupaten Ponorogo dan sekitarnya, pembangunan perikanan darat sebagai bagian dari pembangunan pertanian memiliki karakteristik tersendiri. Di tengah kecenderungan penurunan kontribusi sektor pertanian dalam pembentukan PDRB (Produk Domestik Redional Bruto) Kabupaten Ponorogo dan sekitarnya dalam beberapa tahun terakhir, tahun 2005 sektor pertanian masih mampu menyumbang 14,71% dan tumbuh 4,76%. Yang cukup menarik, sub sektor perikanan mampu mencapai laju pertumbuhan sebesar 20,34%, sementara sub sektor tanaman pangan 4,61%, perkebunan 4,22% dan peternakan 1,23%.

Salah satu jenis komoditas perikanan darat di Kabupaten Ponorogo dan sekitarnya yang paling dominan dan berkembang pesat dalam dua dasawarsa terakhir adalah budidaya (baik pembenihan maupun pembesaran) ikan lele, atau lebih tepatnya ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Lele dumbo berasal dari benua Afrika. Semula ikan ini diperdagangkan sebagai ikan hias. Menurut catatan, lele dumbo telah dipelihara oleh masyarakat Indonesia sejak awal tahun 1980. Pada waktu itu, lele dumbo telah banyak ditemukan sebagai ikan hias di akuarium-akuarium rumah tangga. Sejak pertengahan tahun 1980, ikan lele dumbo mulai dipelihara di kolam-kolam sebagai ikan konsumsi. Keistimewaan ikan lele dumbo adalah tahan hidup dan tumbuh baik di perairan yang kualitas airnya jelek. Bahkan lele dumbo mampu bertahan hidup dalam perairan yang telah tercemar sekalipun. Keistimewaan lain lele dumbo adalah mudah dikembangbiakkan, pertumbuhannya relatif cepat, mudah beradaptasi, serta efisien terhadap aneka macam dan bentuk ataupun ukuran pakan yang diberikan.

Dalam tiga dasawarsa yang lalu masih banyak petani yang enggan berbudidaya ikan lele. Selain karena masih sedikit orang yang mengkonsumsinya, nilai ekonomisnya juga masih kalah tinggi dibandingkan dengan ikan gurami atau ikan karper (ikan mas). Namun saat ini keadaan telah berubah. Sekarang ikan lele sudah populer dan menjadi makanan kegemaran banyak orang sehingga permintaan kebutuhan ikan lele pun semakin meningkat. Pembudidaya bisa memetik keuntungan yang relatif besar dari usaha budidaya ikan lele yang dilakukannya. Selain dijual dalam ukuran siap konsumsi, ikan lele juga bisa dijual dalam bentuk benih. Permintaan benih biasanya datang dari para petani atau mereka yang ingin membuka usaha pembesaran ikan lele. Keadaan inilah yang membuat prospek usaha budidaya ikan lele di Kabupaten Ponorogo dan sekitarnya semakin menjanjikan, baik usaha pembenihan maupun pembesarannya.

Budidaya ikan lele di berbagai daerah selama ini telah banyak yang menerima kredit dari perbankan/lembaga keuangan lainnya, antara lain Bank BRI dan Bank Danamon. Pinjaman yang dapat diberikan oleh perbankan untuk usaha ini dapat berupa kredit investasi maupun kredit modal kerja. Sejauh ini, bank-bank tersebut belum memiliki skema pinjaman khusus untuk usaha budidaya ikan lele. Sebagai contoh untuk Bank BRI, skim kredit yang ditawarkan untuk membantu pengembangan usaha ini adalah melalui Kupedes dengan plafon maksimum sebesar Rp50.000.000,- baik untuk investasi maupun modal kerja dengan tingkat suku bunga sebesar 21% per tahun.

 
PROFIL USAHA DAN POLA PEMBIAYAAN

 

Pola Usaha

Lokasi budidaya ikan lele secara umum tersebar di berbagai kondisi daerah. Indikatornya antara lain adalah untuk usaha pembenihan, jumlah petani pembenih ikan lele paling banyak jumlahnya (6 kelompok dan 8 orang petani) dengan lahan paling luas dibandingkan kecamatan-kecamatan yang lain, yaitu seluas 485.900 m² dari total luas lahan 779.700 m² di Kabupaten Ponorogo dan sekitarnya, dengan jumlah produksi benih adalah sebanyak 253.600.000 ekor bibit ikan lele dari total produksi benih ikan lele Kabupaten Ponorogo dan sekitarnya yang sebesar 289.957.000 ekor pada tahun 2006. Adapun untuk produksi ikan lele konsumsi, pada tahun 2006 Kecamatan Ngemplak menghasilkan sebanyak 353.730 kg ikan lele dari total produksi ikan lele konsumsi Kabupaten Ponorogo dan sekitarnya yang sebesar 2.463.775 kg.

Alasan utama sebagian besar masyarakat melakukan budidaya ikan lele antara lain adalah perputaran uang untuk usaha lebih cepat dengan rentabilitas relatif tinggi, risiko budidaya relatif kecil, serta kecenderungan pola makan masyarakat yang bergeser pada bahan pangan yang sehat, aman dan tidak berdampak negatif terhadap kesehatan menjadi stimulan bagi peningkatan permintaan ikan termasuk ikan lele.

Di Kecamatan Ngemplak terdapat 5 desa sentra budidaya ikan yang mencakup 22 kelompok pembudidaya ikan dengan jumlah anggota sebanyak 660 orang dan luas lahan 937.300 m² (data tahun 2005). Sedangkan yang di luar kelompok terdapat 305 petani dengan luas lahan 156.050 m². Dari potensi lahan seluas 4.277.000 m² yang termanfaatkan baru seluas 1.579.250 m², atau masih ada sisa lahan seluas 2.697.750 m² lahan yang belum termanfaatkan.

 

Pola budidaya pembesaran ikan lele umumnya sudah dilakukan secara semi modern yaitu sebagian besar telah menggunakan kolam permanen/tembok dan dilakukan kegiatan pemupukan secara kimiawi dan teknik-teknik budidaya semi modern. Pada sebagian besar petani, budidaya pembesaran ikan lele telah diintegrasikan dengan pemeliharaan burung puyuh, sehingga kotoran burung puyuh dari peternakan mereka dapat dijadikan sebagai pakan ikan lele.

 

 

Pola Pembiayaan

1. Pola Pembiayaan Usaha Kecil

Selama ini pemberian kredit untuk pengembangan usaha budidaya pembesaran ikan lele sudah dilakukan oleh beberapa perbankan/lembaga keuangan lainnya, antara lain Bank BRI dan Bank Danamon, baik kantor cabang maupun kantor unitnya. Pinjaman yang dapat diberikan oleh perbankan untuk usaha ini dapat berupa kredit investasi maupun kredit modal kerja. Namun bank-bank tersebut belum memiliki skema pinjaman khusus untuk usaha budidaya ikan lele. Adapun untuk Bank BRI, skim kredit yang ditawarkan untuk membantu pengembangan usaha ini adalah melalui Kupedes.

Selain dilakukan oleh lembaga keuangan/perbankan, pembiayaan usaha kecil budidaya ikan lele juga diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Ponorogo dan sekitarnya melalui Program Penguatan Modal bagi Pelaku Pembangunan Perikanan. Program ini dilatarbelakangi oleh krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997/1998 yang memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap menurunnya kegiatan usaha perikanan baik dari segi intensitasnya maupun jumlah unit yang diusahakan. Harga pakan yang melambung tinggi tidak diimbangi dengan kenaikan harga jual produk perikanan, sehingga banyak usaha perikanan yang tidak dapat beroperasi secara optimal. Dampak lainnya adalah semakin meningkatnya biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh petani ikan untuk berproduksi.

 

2. Jenis dan Persyaratan Kredit

Untuk usaha budidaya ikan lele atau usaha kecil lainnya, Bank BRI melalui skim Kupedes memberikan plafon maksimum sebesar Rp 50 juta baik untuk investasi maupun modal kerja dengan tingkat suku bunga sebesar 21% per tahun dengan sasaran adalah perseorangan.  Jangka waktu kredit sebagian besar adalah 12 bulan (tanpa grace period), meskipun sebenarnya untuk Kupedes investasi jangka waktu kredit adalah maksimum 36 bulan dan Kupedes modal kerja maksimum 24 bulan.

 

Sampai dengan bulan Agustus untuk tahun 2007, Bank BRI Kecamatan Ngemplak telah menyalurkan kredit kepada 5 orang pembudidaya ikan lele yang seluruhnya berskala usaha kecil (atau 12,5% dari total nasabah) dengan total kredit yang disalurkan sebesar Rp15.000.000,-. Apabila dilakukan perbandingan dari tahun ke tahun, jumlah penyaluran kredit yang diberikan oleh Bank BRI Kecamatan Ngemplak selama tiga tahun terakhir cenderung fluktuatif, yaitu pada tahun 2004 sebesar Rp17.000.000, tahun 2005 meningkat menjadi Rp 20.000.000 dan tahun 2006 turun menjadi Rp18.000.000,-. Satu hal yang cukup menggembirakan adalah seluruh pinjaman yang disalurkan tersebut berstatus lancar.

 

Persyaratan untuk mendapatkan kredit ini antara lain adanya ketentuan modal/dana sendiri yang harus disediakan pemohon minimal adalah 30%, besar jaminan minimal 80%, tidak perlu adanya jaminan dari pihak ketiga serta adanya agunan berupa surat tanah yang berlaku atau barang bergerak, tabungan/deposito, atau jaminan pribadi. Persyaratan yang berlaku sesuai dengan pengajuan Kupedes dan pengajuan bisa dilakukan setiap saat. Persyaratan pengajuan Kupedes Bank BRI secara umum adalah sebagai berikut:

  1. Warga Negara Indonesia, domisili di wilayah setempat.
  2. Usaha milik sendiri.
  3. Pengusaha menyertakan:
    1. Fotokopi KTP atau SIM.
    2. Surat Keterangan Usaha.
    3. Surat jaminan/agunan.

 

Berkas persyaratan yang diajukan pemohon tersebut selanjutnya oleh Bank BRI akan dilakukan analisis. Dalam melakukan penilaian suatu permohonan kredit Bank BRI masih melakukannya secara konvensional yaitu dengan kriteria 5C, dengan bobot pertimbangan untuk prospek usaha adalah 50%, karakter 30% dan jaminan 20%. Selanjutnya baru dapat diputuskan apakah permohonan kredit tersebut dapat disetujui atau ditolak. Berdasarkan pengalaman selama ini, penyebab permohonan kredit ditolak secara berurutan adalah sebagai berikut:

  1. Syarat administrasi tidak lengkap.
  2. Syarat jaminan kurang/tidak jelas.
  3. Surat keterangan usaha tidak lengkap.
  4. Prospek pasar tidak jelas.
  5. Bidang usaha yang akan dibiayai sudah jenuh.

 

Bank BRI secara proaktif juga melakukan upaya promosi kredit bagi usaha kecil antara lain dengan cara menyebarkan brosur dan secara door to door. Upaya tersebut juga diimbangi dengan bantuan dan pembinaan tentang cara pengajuan kredit. Atas kredit yang disetujui, Bank BRI secara rutin juga melakukan bantuan dan pembinaan manajemen usaha.

Adapun untuk Program Penguatan Modal bagi Pelaku Pembangunan, khususnya kelompok pembudidaya ikan yang diprioritaskan menerima program ini setidaknya telah memenuhi prasyarat:

  1. kelompok sudah tumbuh dan berkembang dari kebutuhan anggotanya,
  2. Kelompok tani ikan yang aktif dan dinamis; serta
  3. sudah tumbuh saling kepercayaan yang mantap intern kelompok, antara kelompok dengan Petugas Lapangan/ Bidang Perikanan dan antara Petugas Lapangan dengan Bidang Perikanan.

 

Prasyarat ini mutlak dipenuhi, mengingat eksistensi kelompok tani ikan sangat ditentukan dari kondisi anggotanya yang memang membutuhkan untuk berkelompok. Pada kelompok yang lemah, cenderung tidak dapat memanfaatkan dana dengan baik dan profesional bahkan dimungkinkan untuk mengambil jalan pintas dengan mendepositokan dana yang diterima. Keadaan seperti ini tidak dikehendaki karena program ini dimaksudkan untuk memberdayakan rakyat lewat usaha perikanan yang memang sudah dilaksanakan oleh masyarakat perikanan.

 
ASPEK PEMASARAN

 

Permintaan

Permintaan global terhadap ikan dan produk perikanan lainnya dalam sepuluh tahun terakhir meningkat, terutama setelah munculnya wabah penyakit sapi gila, flu burung, serta penyakit kuku dan mulut. Disamping itu, sekarang ini sedang terjadi perubahan kecenderungan konsumsi dunia dari protein hewani ke protein ikan. Komoditi perikanan merupakan komoditi ekspor dimana kebutuhan ikan dunia meningkat rata-rata 5 persen per tahun. Kebutuhan ikan dunia pada tahun 1999 berjumlah 126 juta ton per tahun dengan kenaikan rata-rata 2,8 juta ton per tahun. Tujuh puluh persen nilai tersebut dikonsumsi untuk pangan. Dalam tahun 2004, kebutuhan ikan dunia sudah mencapai 140 juta ton. Lebih lanjut, diketahui bahwa kebutuhan ikan segar dunia naik mencapai 45 persen (FAO). Dari jumlah tersebut, market share Indonesia hanya 3,57 persen.

Namun bila dibandingkan antara yang terjadi di negara-negara maju dengan di Indonesia, tingkat konsumsi ikan rata-rata per kapita per tahun di Hongkong, Singapura, Taiwan, Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Malaysia berturut-turut adalah 80, 70, 65, 60, 35, dan 30 kg. Sedangkan tingkat konsumsi ikan rata-rata bangsa Indonesia pada tahun 1997 sebesar 19,05 kg/orang/tahun, dan pada tahun 2001 konsumsi ikan rata-rata nasional meningkat menjadi 22,27 kg/kapita per tahun. Dengan demikian pada tahun 2001 di Indonesia saja dibutuhkan 4,4 juta ton ikan.
Dengan penduduk sekitar 220 juta jiwa dan cenderung akan terus bertambah, Indonesia menjadi negara terpadat dan terbesar nomor empat di dunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Angka ini memberikan gambaran yang nyata bahwa kebutuhan pangan akan terus meningkat. Konsumsi ikan pada masa mendatang diperkirakan akan meningkat seiring dengan peningkatan kesejahteraan dan kesadaran masyarakat akan arti penting nilai gizi produk perikanan bagi kesehatan dan kecerdasan otak. Sebagaimana  gambaran di atas, konsumsi ikan di Indonesia dalam periode tahun 1997 sampai dengan 2001 meningkat yaitu dari 19,05 kg per kapita per tahun menjadi 22,27 kg per kapita per tahun. Dengan adanya peningkatan rata-rata sebesar 2,67 persen per tahun, kecenderungan peningkatan konsumsi ikan juga terlihat sampai tahun-tahun mendatang.

Usaha budidaya pembesaran ikan lele di suatu daerah tidak terlepas dari potensi dan perkembangan perikanan secara umum. Salah satu faktor penting yang menjadi pendorong adalah peningkatan konsumsi ikan masyarakat sebesar 16 persen, yakni dari 17,5 kg/kapita/tahun (2005) menjadi 20,3 kg/kapita/tahun (2006).

Ikan konsumsi yang banyak dihasilkan adalah ikan lele, ikan nila, ikan gurami, ikan grasscarp, ikan mas, ikan tawes, udang galah dan ikan jenis lainnya. Keberhasilan pembangunan perikanan tersebut merupakan wujud nyata hasil kegiatan perikanan yang dilakukan oleh masyarakat antara lain oleh kelompok pembudidaya ikan yang jumlahnya pada tahun 2006 meningkat 6,27 persen yaitu dari 287 kelompok pada tahun 2005 menjadi 305 kelompok pada tahun 2006. Demikian pula pelaku pembangunan perikanan lainnya (pedagang pengentas, pemancingan, Rumah Makan Khas Ikan dan pasar ikan kelompok) semuanya meningkat jumlahnya dari tahun sebelumnya. Hal ini dapat memberikan indikasi bahwa ternyata usaha perikanan telah menjadi alternatif yang dipilih oleh masyarakat sebagai sumber penghasilannya.

Meskipun secara umum terjadi peningkatan produksi dan luas lahan budidaya namun bila merujuk data masing-masing desa dalam kecamatan ternyata ada yang mengalami penurunan. Hal ini disebabkan pada tahun 2006 tepatnya Mei 2006 DI Yogyakarta terkena bencana gempa bumi yang cukup dahsyat yang juga sangat berdampak pada usaha perikanan.

Pada tingkat lokal sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Ponorogo dan sekitarnya Provinsi DI Yogyakarta, tingkat konsumsi ikan juga ada kecenderungan meningkat secara signifikan.

Pertumbuhan tingkat konsumsi ikan dari tahun ke tahun semakin meningkat dimana untuk tahun terakhir terjadi peningkatan sebesar 16 persen, yakni dari 17,5 kg/kapita/tahun pada tahun 2005 menjadi 20,3 kg/kapita/tahun pada tahun 2006. Hal ini tentunya secara langsung akan berdampak pada peningkatan permintaan ikan dan kecenderungan ini akan semakin meningkat pada tahun-tahun mendatang.

 

Penawaran

Konsumsi ikan penduduk Indonesia diperkirakan adalah 4,8 juta ton pada tahun 2004 yang berarti akan mencapai 75% dari potensi sumberdaya ikan (6,4 juta ton per tahun). Sedangkan jumlah yang diperbolehkan ditangkap adalah 80%. Apabila seluruhnya dipasok dari hasil penangkapan, maka kelestarian dari produksi tangkap benar-benar akan terancam apabila tidak dilakukan pengendalian. Oleh karena itu di masa mendatang pasokan ikan dari aktivitas budidaya sangat diharapkan.

Potensi produksi budidaya di perairan umum, kolam air tawar, saluran irigasi, dan mina padi (nila, mas, gurame, lele, patin, bawal air tawar, dan lain-lain) seluas 13,7 juta ha diperkirakan sebesar 5,7 juta ton/tahun, dan baru diproduksi sebesar 0,3 juta ton (5,5%) pada tahun 2003.
Nilai ekonomi usaha perikanan termasuk industri bioteknologi kelautan dan perairan tawar diperkirakan sebesar 82 milyar dolar AS per tahun. Nilai ekonomi sebesar ini hanya dihasilkan dari aktivitas usaha produksi dan pengolahan (pasca panen) hasil perikanan. Padahal kenyataannya kedua aktivitas usaha perikanan tersebut mampu membangkitkan begitu banyak multiplier effects ekonomi berupa industri penunjang usaha perikanan (seperti jaring, mesin kapal, kincir air tambak, pabrik pakan ikan, pabrik es, dan cold storage), jasa transportasi, perhotelan, bank, dan lain sebagainya.

Apabila tahun 1998 Indonesia merupakan negara penghasil ikan terbesar ketujuh di dunia dengan total produksi ikan 4 juta ton, maka total produksi ikan Indonesia mencapai 6 juta ton pada tahun 2003 yang menempatkan Indonesia sebagai produsen ikan terbesar kelima di dunia. Dari total produksi 6 juta ton tersebut; 0,5 juta ton diekspor dengan nilai devisa 2 milyar dolar AS; dan sisanya 5,5 juta ton untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pasokan ikan sebesar 5,5 juta ton ini menyumbangkan sekitar 65% dari total konsumsi protein hewani setiap orang Indonesia selama tahun 2003. Total produksi perikanan sebesar 6 juta ton baru mencapai sekitar 9% dari total potensi produksi perikanan sebesar 65 juta ton/tahun. Ini berarti bahwa peluang usaha di sektor kelautan dan perikanan masih terbuka sangat luas, khususnya untuk usaha perikanan budi daya, industri pengolahan hasil perikanan, dan industri bioteknologi kelautan dan perikanan.

Analog dengan yang terjadi secara nasional sebagaimana diuraikan di atas, pada lingkup lokal hal senada juga terjadi, sebagai contoh adalah yang terjadi di Kabupaten Ponorogo dan sekitarnya. Pertumbuhan produksi ikan konsumsi di Kabupaten Ponorogo dan sekitarnya juga semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Peningkatan produksi yang dicapai dibandingkan dengan tahun sebelumnya meningkat sekitar 20%. Berdasar telaah lebih lanjut diketahui bahwa ikan konsumsi yang dihasilkan terbanyak adalah ikan lele yaitu untuk tahun 2006 /07 diperkirakan sekitar 2.45 ton, sementara ikan nila 1.350 ton, ikan gurami 1.000 ton, ikan grasscarp 350 ton, ikan mas 260 ton, ikan tawes 150 ton, udang galah sebanyak 240 ton dan ikan jenis lainnya sebanyak 500 ton.

Adapun untuk pertumbuhan produksi benih ikan sebagai embrio produksi ikan konsumsi di Kabupaten Ponorogo dan sekitarnya selama kurun waktu tahun 2000 sampai dengan 2010 diperkirakan juga semakin meningkat .

 

Persaingan dan Peluang Pasar

Meskipun sampai saat ini permintaan ikan terus meningkat dan ternyata juga diiringi oleh peningkatan produksi/penawaran ikan, secara umum potensi usaha budidaya air tawar (inland water) cukup besar. Hal ini bisa dilihat dari potensi lestari perairan umum yang mencapai 356.020 ton per tahun dan potensi perikanan budidaya air tawar yang mencapai 1.039.100 ton per tahun. Tingkat pemanfaatan sektor perikanan secara umum masih rendah dan dapat ditingkatkan. Hingga tahun 2002, tingkat pemanfaatan sektor perikanan tangkap baru 64% dari potensi lestari sebesar 6,2 juta ton per tahun. Budidaya tawar, payau dan laut masih jauh dibawah potensi lestari. Disamping itu, diversifikasi komoditas yang dapat meningkatkan nilai tambah masih sangat rendah.

Khusus untuk perikanan darat, dari potensi yang ada seluas 913.000 ha  yang sudah termanfaatkan baru seluas 393.196 ha. Potensi perikanan air tawar terdiri dari perairan umum seluas 550.000 ha dengan produksi 356.020 ton/tahun, kolam air tawar 805.700 ton/tahun dan mina padi sawah sebesar 233.400 ton/tahun. Adapun untuk potensi ekonomi budidaya kolam dari luas potensi 200.000 ha, potensi produksinya adalah 300.000 ton dengan nilai Rp1,5 trilyun. Sementara untuk sawah mina padi dengan luas potensi 500.000 ha, potensi produksi 500.000 ton dengan nilai Rp2,5 trilyun (sumber: Masyarakat Perikanan Nusantara, 2004).

Secara makro peluang pasar hasil perikanan adalah pasar domestik (dalam negeri) dan luar negeri. Pasar domestik adalah penduduk Indonesia yang berjumlah 220 juta jiwa, dengan konsumsi ikan per kapita 22 kg/kapita/tahun. Tingkat konsumsi ikan total meningkat setiap tahun, yaitu tahun 2000 (4,51 juta ton/th), tahun 2001 (4,68 juta ton/tahun), tahun 2002 (4,84 juta ton/th), dan tahun 2003 (5,31 juta ton/tahun). Sedangkan peluang pasar ekspor antara lain ke Jepang (40%), Amerika Serikat (15%), Eropa (20%), RRC (10%), Hongkong (5%), Singapura (5%) dan negara lainnya sebesar 5% (sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan, 2004).

Kendati nilai dan produksi perikanan setiap tahunnya meningkat, saat ini sektor perikanan Indonesia belum terintegrasi baik hulu-hilir (vertikal) maupun horizontal (antar daerah dan dengan komplementarinya). Di sisi lain, pemasaran pun masih dikuasai asing dan perbankan belum berperan cukup. Agunan masih menjadi prasyarat mutlak dan equity masih 30%. Sehubungan dengan potensi yang ada di atas maka pengembangan perikanan budi daya harus mendayagunakan potensi sumberdaya perikanan budidaya Indonesia. Dengan demikian diharapkan optimalisasi pengembangan dapat meningkatkan produksi berbasis ekonomi rakyat, perolehan devisa negara dari aktivitas ekspor, dan mempercepat pembangunan ekonomi masyarakat pembudidaya di perdesaan.

Potensi yang demikian besar dan harapan yang tersimpan pada sektor perikanan, tidak bisa lepas dari kenyataan yang ada. Kekayaan hayati yang ada tidak mampu bersaing baik di tingkat global maupun nasional. Sampai saat ini, secara umum budi daya perikanan didominasi oleh komoditas ikan-ikan impor baik untuk ikan hias maupun ikan konsumsi. Contoh yang paling mudah diutarakan adalah pada jenis-jenis ikan budidaya. Dari komoditas ikan konsumsi yang sekarang ini sudah memasyarakat, semuanya didominasi oleh jenis introduksi yang didatangkan dari luar, seperti ikan mas, nila, patin Bangkok, lele dumbo, bawal air tawar, udang vanamei dan stylostris.

Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari introduksi ikan asing dapat dikemukakan sebagai berikut. Pertama, ikan introduksi dapat digunakan untuk memanfaatkan relung (niche) yang tidak terisi oleh ikan asli. Biasanya ikan introduksi yang termasuk kelompok ini digunakan untuk pengendalian hama/gulma dalam rangka memperbaiki kondisi suatu lingkungan. Contohnya adalah jenis-jenis ikan karper dari Cina yang pernah dimasukkan ke Indonesia pada awal tahun 1980-an. Namun demikian perlu benar-benar dipertimbangkan dan dilakukan kontrol yang ketat agar jangan sampai terjadi ikan tersebut beralih fungsi menjadi hama baru dan mencemari lingkungan di saat hama/ gulma target telah tereliminasi. Kedua, ikan introduksi dapat digunakan sebagai pemacu peningkatan produksi lokal atau mengisi pangsa pasar yang masih terbuka. Contoh yang masih hangat adalah penggunaan udang vanamei dan stylostris untuk menanggulangi problem yang ada pada usaha udang windu. Untuk manfaat yang kedua ini, hendaknya pembatasan penggunaan ikan introduksi sebaiknya bersifat sementara untuk periode waktu yang relatif singkat. Ketiga, jenis introduksi dibutuhkan untuk memperbaiki tampilan produksi ikan lokal dengan menggunakan ikan-ikan tersebut sebagai material dasar/genetis untuk perbaikan.

Selain masalah introduksi, hancurnya industri perikanan budidaya karena penyakit dan lingkungan merupakan pukulan berat bagi sektor perikanan. Kejadian ini terjadi baik pada budidaya udang dengan hancurnya lingkungan tambak yang mematikan usaha budidaya, dan penyakit yang muncul baik di panti benih maupun di tambak. Untuk ikan masalah lingkungan menjadi faktor utama terjadi kematian secara besar-besaran akibat umbalan (up welling) dan penyebab timbulnya wabah penyakit pada pemeliharaan ikan di kantong jaring apung di beberapa waduk buatan.

Selain hal-hal di atas, perlu disadari bahwa sektor perikanan merupakan industri padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja sehingga distribusi pendapatan dan multiplier effect-nya luas. Krisis ekonomi yang terjadi ternyata berdampak pada pengalihan penyerapan kerja sektor dari industri ke sektor pertanian. Data BPS menunjukan bahwa pada tahun 1998 terjadi pengalihan penyerapan tenaga kerja dari sektor industri ke sektor pertanian sebesar 5% untuk pulau Jawa dan 4% untuk luar Jawa.

Dalam lingkup Kabupaten Ponorogo dan sekitarnya, perkembangan usaha budidaya ikan (termasuk ikan lele) di Kabupaten Ponorogo dan sekitarnya ke depan semakin prospektif karena ditunjang dan distimulasi oleh empat faktor berikut: 1) pertumbuhan jumlah pasar ikan kelompok, 2) pertumbuhan jumlah pedagang pengentas ikan, 3) pertumbuhan jumlah usaha pemancingan, serta 4) pertumbuhan jumlah rumah makan khas ikan, dimana keempat variabel tersebut memiliki kecenderungan semakin meningkat dari tahun ke tahun secara bermakna. Keempatnya merupakan pasar yang potensial bagi pembudidaya di Kabupaten Ponorogo dan sekitarnya dalam menyalurkan produksinya.

Jumlah pedagang pengentas ikan selama kurun waktu lima tahunan menunjukkan peningkatan yang jelas.

Data pertumbuhan jumlah usaha pemancingan juga mengalami peningkatan.

Adapun data pertumbuhan jumlah rumah makan khas ikan di wilayah kabupaten juga meningkat.

Data lapangan lebih lanjut menunjukkan bahwa produksi ikan konsumsi di Kabupaten Ponorogo dan sekitarnya sampai saat ini belum dapat mencukupi kebutuhan pasar masyarakat Kabupaten Ponorogo dan sekitarnya. Terbukti pada tahun 2006 para pedagang ikan konsumsi dan unit usaha-unit usaha lain yang memerlukan ikan konsumsi sebagai bahan bakunya di Kabupaten Ponorogo dan sekitarnya masih mendatangkan pasokan ikan konsumsi (ikan air tawar) dari luar Kabupaten Ponorogo dan sekitarnya yaitu total sebanyak 1.756,68 ton. Ikan konsumsi/ikan segar air tawar tersebut terutama didatangkan dari Kabupaten Klaten dan Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah.

Khusus ikan lele untuk memenuhi kebutuhan warung/rumah makan yang menjajakan menu ikan lele untuk daerah Yogyakarta dan sekitarnya saja sekarang ini sudah mencapai 8 ton per hari, sedangkan kebutuhan di Jabodetabek lebih besar lagi, yaitu mencapai 40 ton per hari (Warta Pasar Ikan, 2006). Jika satu konsumen memakan satu ekor, berarti ada sekitar 320 ribu konsumen yang makan ikan lele, hanya di daerah Jabodetabek saja. Suatu jumlah yang cukup menakjubkan dan hal ini menunjukkan adanya peluang usaha budidaya ikan lele yang masih sangat menjanjikan.

 

Harga

Harga jual ikan lele pada tingkat pembudidaya dibedakan atas tiga jenis, yaitu harga benih ikan lele, harga ikan lele konsumsi dan harga ikan lele indukan. Harga ketiga jenis ikan lele tersebut berfluktuasi karena pengaruh permintaan dan penawaran (pengaruh musim). Namun secara rata-rata dapat disebutkan bahwa harga untuk benih ikan lele ukuran 2-3 cm adalah sekitar Rp22,50 per ekor, ukuran 5-6 cm sekitar Rp75,- per ekor dan ukuran 8-12 cm berharga kurang lebih Rp140,- per ekor. Sedangkan untuk ikan lele konsumsi yang satu kg-nya berisi antara 8-12 ekor (ikan lele umur 2,5-3 bulan) berada pada kisaran harga Rp8.000,- per kg. Sementara itu untuk indukan lele harganya sekitar Rp25.000,- per kg. Adapun untuk harga ikan lele konsumsi yang satu kg-nya berisi 8-12 ekor (paling banyak disukai konsumen) pada tingkat pedagang pengumpul adalah berkisar antara Rp9.500,- per kg (bulan April-saat stok ikan lele sedikit), sampai dengan Rp12.000,- per kg (saat Lebaran) dengan harga rata-rata adalah Rp10.000,- per kg.

 

Jalur Pemasaran

Pemasaran ikan lele di Kabupaten Ponorogo dan sekitarnya seluruhnya dipasarkan untuk pasar domestik (dalam negeri), terutama di daerah Kabupaten Ponorogo dan sekitarnya dan sekitarnya. Secara umum jalur pemasaran ikan lele tidak jauh berbeda dengan jalur pemasaran ikan jenis lain yang dibudidayakan oleh petani. Karena terdapat tiga jenis ikan lele yaitu benih ikan lele, ikan lele konsumsi dan ikan lele indukan, maka rantai pemasaran antara ketiga jenis ikan lele tersebut juga berbeda. Untuk benih ikan lele, bagi petani di Kabupaten Ponorogo dan sekitarnya yang tergabung dalam kelompok maka akan menjual benih ikan lele yang mereka hasilkan seluruhnya langsung dijual di pasar benih yang dimiliki oleh kelompok. Pembeli - baik para pembudidaya pembesaran maupun pedagang benih ikan lele yang akan dijual lagi - langsung membeli di pasar tersebut. Sementara bagi pembudidaya yang tidak tergabung dalam kelompok cukup variatif, antara lain menunggu pembeli yang datang maupun dijual melalui tengkulak. Adapun untuk ikan lele konsumsi hampir seluruhnya dijual langsung kepada pedagang pengumpul dengan cara diambil. Demikian juga untuk ikan lele indukan, namun ikan lele indukan biasanya pembelinya adalah para petani pembenihan ikan lele.

Jalur pemasaran ikan lele di Kabupaten Ponorogo dan sekitarnya secara ringkas dapat dijelaskan dalam Gambar 9.

 

 

clip_image001[4]
Gambar 9. Jalur Pemasaran Ikan Lele Kabupaten Ponorogo dan sekitarnya

 

 

Kendala Pemasaran

Kendala pemasaran ikan lele yang terjadi di Kabupaten Ponorogo dan sekitarnya terutama dialami oleh petani/pembudidaya yang tidak tergabung dalam kelompok yaitu pemasaran sering dilakukan melalui tengkulak yang mengambil keuntungan secara berlebihan dalam rantai pemasaran tersebut. Sedangkan bagi petani yang tergabung dalam kelompok, pemasaran yang dilakukan melalui pasar kelompok baru untuk benih ikan lele saja sedangkan yang untuk ikan lele konsumsi maupun ikan lele indukan belum. Seharusnya kelompok lebih proaktif sehingga pemasaran benih ikan lele, ikan lele konsumsi dan ikan lele indukan seluruhnya dilakukan melalui pasar kelompok.

Kendala lain adalah masih banyak petani/kelompok yang belum mampu melakukan pengolahan pasca panen akibat kurangnya pengetahuan dan teknologi. Padahal pengolahan pasca panen diperlukan jika ada hasil panen ikan lele yang tidak terjual (meskipun sangat jarang terjadi). Ikan lele tersebut bisa diawetkan dengan cara pengasapan baik dengan teknologi pengasapan panas maupun pengasapan dingin.

Hal lain yang masih menjadi kendala adalah belum mampunya petani dalam menjalin networking langsung kepada konsumen/ pelanggan khususnya pelanggan besar dalam rangka menjamin kontinuitas pasar. Petani juga masih lemah dalam menjalin komunikasi dengan komunitas pasar yang ada. Padahal hal tersebut sangat bermanfaat untuk mendapatkan akses informasi yang sempurna tentang kondisi pasar, baik dalam hal harga maupun besarnya permintaan pasar.

 
ASPEK PRODUKSI

Lokasi Usaha

Pemilihan lokasi yang tepat untuk budidaya pembesaran ikan lele merupakan salah satu faktor kunci keberhasilan ikan lele secara menguntungkan, meskipun sebenarnya tidak ada persyaratan yang rumit dalam pemilihan lokasi budidaya pembesaran ikan ini. Hal ini karena secara umum ikan lele termasuk ikan yang bisa hidup di sembarang tempat, meski demikian dalam budidayanya pemilihan lokasi yang tepat harus diperhatikan.

Syarat-syarat lokasi yang tepat harus dipenuhi agar proses budidaya pembesaran ikan lele dapat berlangsung dan berproduksi adalah sebagai berikut:

  1. Lokasi yang cocok untuk ikan lele cepat tumbuh adalah lokasi yang memiliki ketinggihan  10-400 m di atas permukaan laut (dpl). Ikan lele akan lambat tumbuh jika dibudidayakan di lokasi yang memiliki ketinggihan di atas 800 m dpl.
  2. Faktor lain adalah tekstur dan struktur tanah. Tanah merupakan faktor mutlak dalam pembuatan kolam budidaya. Tanah yang baik akan menghasilkan kolam kokoh, terutama bagian pematang atau tanggul.  Pematang yang kokoh dapat menahan tekanan air. Dengan kata lain kolam tidak mudah jebol dan dapat menahan air. Salah satu jenis tanah yang baik untuk kolam adalah tanah liat atau lempung berpasir dengan perbandingan 2 : 3. Tanah dengan struktur seperti ini mudah dibentuk dan tidak pecah. Namun, jika kolam pemeliharaan ikan lele ditembok atau dibeton, maka tanah tidak lagi menjadi faktor utama.   
  3. Di lokasi tersebut tersedia air dalam kualitas dan kuantitas yang mencukupi. Walaupun ikan lele dapat hidup dalam air yang keruh, kualitas air sangat mengdukung pertumbuhan ikan lele. Oleh karena itu, air yang digunakan untuk kolam budidaya harus banyak mengandung mineral, zat hara, serta tidak tercemar oleh racun atau limbah-limbah rumah tangga dan industri. Air yang baik untuk pertumbuhan ikan lele adalah air bersih yang berasal dari sungai, air hujan dan air sumur. Kualitas air yang baik untuk budidaya pembesaran ikan lele haruslah memenuhi syarat variabel-variabel fisika, kimia dan biologi yang baik, meliputi kejernihan air serta berbagai kandungan mineral di dalamnya. Berikut ini kondisi optimal air untuk budidaya pembesaran ikan lele:
    1. Suhu minimum 20°C, suhu maksimum 30°C dan suhu optimum 24–27°C.
    2. Kandungan oksigen minimum 3 ppm.
    3. Kandungan karbondioksida (CO²)di bawah 15 ppm, NH3 di bawah 0,005 ppm, NO2 sekitar 0,25 ppm dan NO³ sekitar 250 ppm.
    4. Tingkat derajat keasaman (pH) 6,5 – 8.

 

Bahan Baku

Input yang digunakan untuk kegiatan budidaya pembesaran ikan lele yang utama adalah benih ikan lele. Disamping itu juga membutuhkan berbagai jenis bahan habis pakai seperti pupuk kandang, kapur serta pakan. Dalam rangka pelaksanaan kegiatan budidaya ikan lele diperlukan peralatan penunjang dan sarana produksi utama budidaya ikan lele. Adapun fasilitas produksi dan jenis peralatan yang digunakan dalam satu unit usaha budidaya pembesaran ikan lele dapat dilihat pada Tabel 1.

 

Tabel 1. Fasilitas dan Peralatan untuk Budidaya Ikan Lele

No.

Nama Fasilitas dan Peralatan

Jumlah

 

1.

Pompa  air

1 unit

2.

Saring Ikan

2 buah

3.

Jala

3 buah

4.

Drum

4 buah

5.

Ember besar

4 buah

6.

Timbangan

1 unit

 

 

Tenaga Kerja

Tenaga kerja yang dibutuhkan dalam kegiatan budidaya pembesaran ikan lele ini relatif tidak terlalu banyak. Jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan relatif banyak hanya pada saat pembangunan kolam beserta fasilitas pendukungnya. Tenaga kerja untuk  kegiatan  budidaya ini dalam operasionalnya hanya  membutuhkan 1–2 orang pekerja untuk satu unit usaha yang dilakukan secara kontinyu sepanjang tahun. Para pekerja ini umumnya dibayar secara harian/mingguan. Pekerja antara lain melaksanakan kegiatan membeli pakan, memberikan pakan ikan lele, melakukan pembersihan, memanen serta menjaga keamanan.

Keberhasilan usaha budidaya lele sangat ditentukan oleh kejujuran dan kedisiplinan karyawan atau pelaksana kerja sehari-hari. Kontrol yang ketat merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi kebocoran-kebocoran yang berakibat pada pembengkakan pada biaya operasional. Pada usaha budidaya ikan lele kebocoran yang sering terjadi adalah pada penggunaan pakan. Pemberian pakan yang berlebihan selain akan menyebabkan pembengkakan biaya operasional juga akan menurunkan produktivitas dan menurunkan kualitas perairan.

 

Teknologi

Ada beberapa teknik pembesaran ikan lele yang biasa dilakukan yakni, pembesaran dalam kolam tembok atau tanah serta pembesaran sistem longyam.

  1. Pembesaran dalam kolam.

Kolam pembesaran yang dilakukan bisa berupa kolam tembok atau tanah dengan menggunakan plastik, fiber dan sebagainya. Tidak ada patokan yang baku untuk ukuran kolam yang akan dipakai sebagai tempat pembesaran tetapi disesuaikan dengan luas lahan yang ada.

  1. Pembesaran sistem longyam.   Pembesaran sistem longyam adalah pembesaran ikan lele yang dikombinasikan dengan kandang pemeliharaan ayam. Sistem longyam memiliki dua keunggulan, yakni secara ekonomi lebih menguntungkan dan dalam pemanfaatan pakan lebih efisien. Dengan sistem ini, satu lahan digunakan untuk dua jenis usaha sekaligus. Sisa pakan ayam yang jatuh ke kolam bisa menjadi santapan dan pakan tambahan bagi ikan lele.

 

Berdasarkan pengamatan lapangan yang dilakukan di Kabupaten Ponorogo dan sekitarnya, teknologi yang digunakan dalam pembenihan hampir seluruhnya dilakukan secara alami (tradisional) dan dalam pembesaran mayoritas menggunakan kolam baik kolam tembok (sebagian besar) maupun kolam tanah (sebagian kecil).

clip_image003[4]
Gambar 1. Foto Kolam Pembesaran Ikan Lele di Kecamatan Ngempak, Kabupaten Ponorogo dan sekitarnya

 

 

Proses Produksi

Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) merupakan hasil persilangan ikan lele lokal yang berasal dari Afrika dengan lele lokal dari Taiwan. Ikan lele dumbo pertama kali didatangkan ke Indonesia oleh sebuah perusahan swasta pada tahun 1986. Ciri khas dari ikan ini adalah sirip dadanya yang dilengkapi sirip keras dan runcing yang disebut patil. Patil ini berguna sebagai senjata dan alat bantu untuk bergerak. Selain itu juga ada alat yang disebut aboresent yang bentuknya berlipat-lipat penuh dengan pembuluh darah. Dengan alat tersebut ikan ini mampu mengambil oksigen langsung dari udara, sehingga dapat hidup dalam waktu yang cukup lama pada lumpur lembab bahkan tanpa air sama sekali.

Ikan lele mempunyai sifat aktif pada malam hari (noctural). Hal ini berarti bahwa ikan lele akan lebih aktif jika diberi makan pada malam hari. Pemberian pakan yang tepat, baik frekuensi ataupun jumlahnya akan lebih mengefisienkan biaya yang diperlukan. Dengan memahami sifat biologi ikan tersebut, maka pada akhirnya hanya budidaya yang paling efisien yang akan bertahan dalam persaingan.

Ikan lele termasuk dalam golongan ikan karnivora atau pemakan daging. Jenis, ukuran dan jumlah pakan yang diberikan tergantung ukuran dan lele yang dipelihara. Ada dua jenis pakan ikan lele, yaitu pakan alami dan pakan buatan. Disamping itu dapat pula diberikan pakan alternatif. Pakan alami ikan lele adalah jasad-jasad renik, kutu air, cacing, jentik-jentik serangga dan sebagainya. Pakan alternatif yang biasa diberikan adalah ikan rucah atau ikan-ikan hasil tangkapan dari laut yang sudah tidak layak dikomsumsi oleh manusia, limbah peternakan ayam, daging bekicot/keong mas dan sisa-sisa dapur rumah tangga.

Hal yang perlu dicermati dalam pemberian pakan alternatif ini adalah bahwa pakan tersebut merupakan reservoir parasit/mikro organisme, sehingga pemanfaatan makanan tersebut akan melengkapi siklus hidup beberapa parasit ikan. Oleh karena itu pemberian pakan alternatif, terutama yang sudah jelek kualitasnya/busuk sejauh mungkin dihindari. Higienisnya pakan, cara pemberian dan penyimpanannya perlu diperhatikan benar agar transmisi parasit dan penyakit tidak terjadi pada hewan budidaya. Dengan melihat kejelekan yang ada pada pakan alternatif/tambahan, maka seyogyanya ikan lele diberikan pakan buatan yang memenuhi persyaratan, baik nutrisinya maupun jumlahnya. Walaupun banyak nilai kebaikan dari pakan buatan, harus diperhatikan pula dari segi finansialnya, karena sekitar 60 - 65 persen biaya produksi adalah biaya untuk pembiayaan pakan.

Kepadatan atau kerapatan ikan yang dibudidayakan harus disesuaikan dengan standar atau tingkatan budidaya. Peningkatan kepadatan akan menyebabkan daya dukung kehidupan ikan per individu menurun. Kepadatan yang terlalu tinggi (overstocking) akan meningkatkan kompetisi pakan, ikan mudah stres dan akhirnya akan menurunkan kecepatan pertumbuhan. Kepadatan ikan yang dibudidayakan secara semi intensif berkisar 1-5 kg/m2, sedangkan untuk kegiatan budidaya intensif dapat mencapai 20 kg/m2 atau setara dengan 160 - 200 ekor/m2 apabila berat ikan yang dipelihara berkisar 100 -125 gram/ekor.

Pemisahan ukuran (grading) dimaksudkan untuk menghindari perebutan atau wilayah hidup (menghindari/mengurangi persaingan). Dengan pemisahan ini, maka ikan yang ukurannya kecil tidak akan kalah bersaing dan dapat melanjutkan kehidupan/pertumbuhannya secara normal. Lebih-lebih untuk ikan yang bersifat kanibal, seperti lele, apabila tidak dilakukan pemisahan maka ikan yang berukuran kecil akan menjadi mangsa dari ikan yang berukuran besar. Besarnya kematian disini bukan karena penyakit atau hama, tapi akibat dari aktivitas pemangsaan. Selain itu pemisahan ukuran juga akan menghindari meluasnya jangkitan penyakit, karena seiring dengan pertumbuhan maka peluang untuk terinfeksi juga semakin meningkat.

Secara umum usaha budidaya pembesaran ikan lele dibedakan atas dua jenis, yaitu: 1) usaha pembesaran saja; dan 2) usaha pembenihan dan pembesaran dalam satu unit usaha. Apabila usaha pembenihan dan pembesaran dilakukan dalam satu unit usaha maka proses budidaya dimulai sejak dari proses pembenihan, selanjutnya benih ikan lele yang mereka produksi dimasukkan dalam proses pembesaran. Sedangkan apabila usahanya pembesaran saja maka pembudidaya dapat membeli benih ikan lele dari pembudidaya lain atau pasar benih ikan atau dari Balai Benih Ikan (BBI) dan selanjutnya dilakukan proses pembesaran.

Ada kebaikan atau kelebihan dari usaha pembesaran dan pembenihan dalam satu unit usaha. Diantara kelebihan tersebut adalah dapat diketahui benar-benar kualitas benih yang akan dibudidayakan, termasuk asal usul dari induknya. Selain itu dengan lingkungan yang sama, maka benih tidak mengalami stres. Benih yang diambil dari tempat lain yang berbeda, apalagi jauh jaraknya serta penanganan yang tidak benar akan mempengaruhi kondisi benih.

Pembesaran merupakan tahap akhir dalam usaha budidaya ikan lele. Benih yang akan dibesarkan dapat berasal dari pendederan I ataupun pendederan II. Kalau benih yang berasal dari pendederan II, berarti ukuran benih sudah cukup besar, sehingga waktu yang dibutuhkan sampai panen tidak terlalu lama. Usaha semacam ini mengandung risiko yang lebih kecil, karena tingkat mortalitasnya rendah. Hasil panen yang seragam atau serempak pertumbuhannya dengan ukuran super adalah salah satu target yang harus dicapai.

Ada 3 (tiga) faktor penting yang harus diperhaitkan dalam usaha pembesaran, yaitu: kualitas benih, kualitas pakan yang diberikan dan kualitas airnya itu sendiri.

  1. Kualitas benih.  Benih yang baik berasal dari induk yang baik pula, karena itu sebaiknya benih dibeli dari tempat pembenihan yang dapat dipercaya atau yang telah mendapat rekomendasi dari pemerintah, seperti BBI. Benih baik bisa berasal dari hasil rekayasa genetika seperti lele sangkuriang, proses seleksi, proses persilangan dan sebagainya. Ciri-ciri benih yang berkualitas yaitu tubuhnya tidak cacat/luka, posisinya tidak menggantung (posisi mulut di atas), aktif bergerak dan pertumbuhannya seragam. Benih yang ditebar pembudidaya di Kabupaten Ponorogo dan sekitarnya umumnya berasal dari Sukabumi dan lokal. Ada juga yang mencoba benih dari Thailand.
  2. Kualitas pakan. Pakan yang diberikan harus tepat dan dalam jumlah yang mencukupi. Yang dimaksud tepat dalam hal ini adalah tepat ukuran, nilai nutrisi, keseragaman ukuran dan kualitas. Pada umumnya pakan yang digunakan berasal dari produksi pabrik. Pakan yang diberikan berupa pelet, dengan dosis 3-5 persen dari bobot tubuhnya perhari. Pemberian pakan dua kali sehari, yaitu pagi dan sore hari. Pakan diberikan dengan cara ditebarkan secara merata dengan harapan setiap individu akan mendapatkannya. Selain pelet, sebagai makanan tambahan diberikan limbah burung puyuh yang terlebih dahulu dicabuti bulu-bulunya. Pemberian makanan tambahan ini memang bisa menghemat biaya, tapi sebagai konsekuensinya adalah dapat membawa bibit penyakit.
  3. Kualitas air. Air yang digunakan untuk usaha pembesaran harus memenuhi syarat, dalam arti kandungan kimia dan fisika harus layak. Bebas dari pencemaran dan tersedia sepanjang waktu. Sumber air yang digunakan oleh pembudidaya setempat berasal dari sungai dan sumur. Sistem pembagian air secara pararel, artinya masing-masing kolam tidak saling berhubungan. Dengan sistem ini, maka kemungkinan untuk tertulari penyakit antara satu kolam dengan lainnya dapat terhindari.

 

Kolam pembesaran yang ada di Kabupaten Ponorogo dan sekitarnya kebanyakan sifatnya permanen. Banyak yang terbuat dari tembok dengan bentuk persegi panjang (4 x 5 m) atau dengan ukuran yang lebih besar, walupun demikian masih ada yang menggunakan kolam tanah. Kolam pembesaran harus disucihamakan dulu. Cara yang paling mudah adalah dengan mengeringkan dan melakukan pengapuran.

Benih yang ditebar sebaiknya dalam satu ukuran (seragam) mengingat ikan lele ini mempunyai sifat kanibal. Benih ditebar pagi atau sore hari saat suhunya masih rendah. Hal ini untuk menghindari stres. Padat penebaran yang digunakan adalah kurang lebih 200 ekor/m3 air. Padat penebaran sebanyak ini sudah termasuk dalam kategori sistem budidaya yang intensif.

Sebagai tahap terakhir adalah pemanenan hasil. Mengingat kolam yang digunakan adalah kolam tembok maka cara pemanenannya menjadi mudah. Tinggal membuka saluran pembuangan air, sehingga airnya menjadi berkurang. Langkah selanjutnya adalah melakukan penyerokan, pemanenan dilakukan dua kali, yang pertama adalah yang berukuran besar yaitu ketika ikan lele berumur 2,5 bulan. Sisanya yang masih belum layak ditinggal pada kolam tersebut dan baru dipanen setelah berumur 3 bulan. Hasil pemanenan yang diperoleh sekitar 80 persen dari padat penebaran 200 ekor/m3 air.

 

Kendala Produksi

Salah satu kendala yang sering dihadapi oleh pembudidaya ikan lele adalah serangan hama dan penyakit. Kerugian akibat hama biasanya tidak sebesar serangan penyakit. Meskipun demikian kedua-duanya harus mendapat perhatian penuh, sehingga usaha budidaya dapat berhasil sesuai dengan yang diharapkan.

Pencegahan merupakan tindakan yang paling efektif dibandingkan dengan pengobatan. Dengan padat penebaran yang demikian tinggi pada pembudidaya yang intensif, maka serangan penyakit dapat terjadi sewaktu–waktu, bahkan secara ekstrim dapat dikatakan tinggal menunggu waktu. Monitoring yang ketat dan konsisten merupakan langkah yang harus dikerjakan dalam usaha budidaya yang modern. Monitoring tidak hanya dilakukan pada ikan yang dibudidayakan saja, tetapi juga terhadap kondisi airnya.

Kalau diperhatikan dengan cermat, sebelum ikan terkena penyakit maka akan menunjukkan gejala–gejala terlebih dahulu. Gejala–gejala tersebut diantaranya adalah nafsu makan yang berkurang, gerakan menjadi lambat, pengeluaran lendir yang berlebihan dan pada stadium selanjutnya akan terlihat perubahan warna, bahkan mulai ada luka pada tubuhnya. Semua gejala ini dapat dilihat secara visual. Gejala ini sebenarnya tidak hanya tampak pada ikannya saja, tapi juga kondisi airnya. Air kolam tampak lebih kental atau pekat, akibat pengeluaran lendir yang berlebihan.
Apabila melihat gejala ini, maka harus segera dilakukan langkah pengobatan sebelum penyakitnya menjadi lebih parah. Pengobatan yang lebih dini akan mengurangi jumlah ikan yang mati, bahkan akan menyelamatkan ikan yang dibudidayakan.

 

1. Hama

Hama adalah organisme pengganggu yang dapat memangsa, membunuh dan mempengaruhi produktivitas, baik secara langsung ataupun bertahap. Hama ini bisa berasal dari aliran air masuk, udara maupun darat. Ada dua cara yang biasanya digunakan untuk mencegah hama, yaitu:

  1. Melakukan pengeringan dan pemupukan kolam.
  2. Memasang saringan pada pintu pemasukan air (inlet).

Hama pada ikan lele yang biasanya ada adalah ular, belut, ikan–ikan buas, linsang dan burung pemakan ikan.

 

2. Penyakit

Penyakit dapat disebabkan oleh adanya gangguan dari jasad hidup atau sering disebut dengan penyakit parasiter dan yang disebabkan oleh faktor fisik dan kimia perairan atau non parasiter. Jasad hidup penyebab penyakit tersebut diantaranya adalah virus, jamur, bakteri, protozoa, nematoda dan jenis udang renik. Penyebab penyakit dari satu ikan ke ikan lainnya dapat melalui:

  1. Aliran air yang masuk ke kolam.
  2. Media tempat ikan tersebut hidup.
  3. Kontak langsung antara ikan yang sakit dan ikan yang sehat.
  4. Kontak tidak langsung yaitu melalui peralatan yang terkontaminasi (selang air, gayung, ember dan sebagainya).
  5. Agent atau carrier (perantara atau pembawa).

 

Beberapa tindakan untuk mengatasi berbagai serangan penyakit dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain aplikasi obat langsung ke ikan. Pengobatan ini dapat dilakukan melalui penyuntikan. Tindakan pengobatan melalui penyuntikan ini hanya efektif jika ikan yang terserang penyakit jumlahnya sedikit.

Bakteri, jamur dan parasit merupakan sumber utama penyakit pada ikan lele, walaupun demikian masih ada penyakit lain yang belum diketahui penyebabnya. Berikut ini disajikan tabel yang memuat gejala klinis dan diagnosisnya.

 

Tabel 4.2.  Gejala Klinis pada Ikan Lele yang Terserang Penyakit

 

Gejala Klinis

Diagnosis

Ikan berenang dengan posisi mulut di atas (menggantung). Ada bintik putih pada kulit dan sekitar mulut

Myxobacteria

Permukaan kulit ada semacam benang–benang putih halus (seperti kapas)

Saprolegnia

Gerakan lemah, tubuh kurus, sering menggosokkan badan ke benda–benda keras.

Trichodina, Dactylogyrus, Gyrodactylus

 

Pembudidaya pembesaran ikan lele di Kabupaten Ponorogo dan sekitarnya untuk pengobatan umumnya lebih senang menggunakan garam dapur atau daun ketapang, dengan alasan mudah didapat dan murah harganya.

 
ASPEK KEUANGAN

Pemilihan Pola Usaha

Usaha budidaya pembesaran ikan lele saat ini telah berkembang luas di Kabupaten Ponorogo dan sekitarnya maupun daerah-daerah lain. Hal ini karena ikan lele mempunyai ukuran yang besar dan cepat pertumbuhannya, dapat dipelihara dengan kepadatan yang tinggi, tidak memerlukan persyaratan kualitas air yang rumit, mampu memanfaatkan pakan secara efisien, rasanya enak dan dapat diterima oleh segala lapisan masyarakat serta mempunyai prospek pemasaran yang baik.

Pola usaha yang akan dijalankan dalam budidaya pembesaran ikan lele ini adalah pembesaran ikan lele yang dilakukan dalam kolam tembok. Pada lahan yang akan dijadikan sebagai tempat budidaya dibangun kolam-kolam tembok dengan ukuran standar yaitu dengan panjang 10 m, lebar 5 m dan kedalaman 1 m sebagai tempat pembesaran ikan lele. Kedalaman air rata-rata adalah 70 cm (0,7 m). Dalam unit usaha tersebut khusus digunakan untuk pembesaran ikan lele, dalam arti tidak digunakan untuk peternakan ayam maupun yang lain (bukan sistem longyam).

 

Asumsi

Perhitungan finansial mengenai pendapatan dan biaya usaha, kemampuan usaha untuk membayar kredit dan kelayakan usaha memerlukan dasar-dasar perhitungan yang diasumsikan berdasarkan hasil survei dan pengamatan yang terjadi di lapangan serta informasi dari beberapa literatur. Asumsi yang digunakan dalam perhitungan aspek keuangan ini disajikan pada Tabel 5.1.

 

Tabel 5.1. Asumsi Teknis dalam Usaha Budidaya Pembesaran Ikan Lele

 

No.

Uraian

Nilai

Satuan

1.

Umur ekonomis proyek

3

tahun

2.

Luas lahan

1.000

m2

3.

Jumlah kolam tembok

10

unit

4.

Ukuran kolam

10 x 5 x 1

m (p x l x t)

5.

Volume kolam kosong (1 kolam)

50

m3

6.

Volume kolam kosong (10 kolam)

500

m3

7.

Kedalaman air pada kolam

0,7

m

8.

Volume kolam isi air (1 kolam)

35

m3

9.

Volume kolam isi air (10 kolam)

350

m3

10.

Ukuran benih ikan lele disebar

8-12

cm

11.

Kepadatan tebar

200

ekor/m3 air

12.

Jumlah benih ikan lele disebar

70.000

ekor

13.

Tingkat mortalitas

5

persen

14.

Umur lele dipanen

2,5

bulan

15.

Jeda waktu antar siklus

0,5

bulan

16.

Lama periode satu siklus

3

bulan

17.

Frekuensi panen ikan lele

4

kali dalam setahun

18.

Ukuran ikan lele yang dipanen

10

ekor/kg

19.

Harga jual ikan lele (rata-rata)

8.500

rupiah/kg

20.

Tingkat suku bunga

21

persen

21.

Gaji pengelola per bulan

750.000

rupiah/bulan

22.

Jumlah pekerja

1

orang

23.

Biaya tenaga kerja per bulan

600.000

rupiah/bulan

24.

Harga sewa lahan

750

rupiah/m2/tahun

25.

Biaya pembuatan pagar keliling (batako)

90.000

rupiah/m lari

26.

Biaya pembuatan pondok jaga/ gudang

250.000

rupiah/m2

27.

Harga rata-rata pakan ikan lele

4.250

rupiah/kg

28.

Konversi pakan:berat lele yang dihasilkan

1:1

kg:kg

29.

Biaya pupuk, kapur dan obat-obatan

5

persen dari biaya benih ikan lele

 

 

Komponen Biaya Investasi dan Biaya Operasional

1. Biaya Investasi

Biaya investasi adalah biaya tetap yang dikeluarkan pada saat memulai suatu usaha. Biaya investasi budidaya pembesaran ikan lele meliputi pengadaan dan sertifikasi lahan (kecuali bila lahan sewa), biaya perijinan, konstruksi bangunan (kolam dan gudang/pondok jaga), dan peralatan pembantu lainnya sebagaimana nampak pada Tabel 5.2.

 


Tabel 5.2.  Biaya Investasi Budidaya Pembesaran Ikan Lele (1.000 m²)

 

No.

Komponen Biaya Investasi

Vol.

Satuan

Harga/ Unit (Rp)

Nilai (Rp.)

Umur (tahun)

Depresiasi per Tahun (Rp.)

 
 

A.

Biaya Prasarana

 

 

 

 

 

 

 

1.

Sewa lahan (3 tahun)

1.000

m2

2.250

2.250.000

3

750.000

 

2.

Kolam tembok

10

unit

2.250.000

22.500.000

3

7.500.000

 

3.

Gudang/pondok jaga

15

m2

250.000

3.750.000

3

1.250.000

 

4.

Pagar batako

130

m lari

90.000

11.700.000

3

3.900.000

 

5.

Jaringan pipa

1

ls

1.200.000

1.200.000

3

400.000

 

6.

Pasang listrik 900 w

1

ls

750.000

750.000

3

250.000

 

7.

Perijinan

1

ls

300.000

300.000

3

100.000

 

 

Total Biaya Prasarana

 

 

 

42.450.000

 

14.150.000

 

B.

Biaya Peralatan

 

 

 

 

 

 

 

1.

Pompa  air

1

unit

300.000

300.000

3

100.000

 

2.

Saring Ikan

3

buah

20.000

60.000

3

20.000

 

3.

Jala

3

buah

150.000

450.000

3

150.000

 

4.

Drum

6

buah

100.000

600.000

3

200.000

 

5.

Ember besar

4

buah

60.000

240.000

3

80.000

 

6.

Timbangan

1

unit

300.000

300.000

3

100.000

 

 

Total Biaya Peralatan

 

 

 

1.950.000

 

650.000

 

C.

Total Biaya Investasi

 

 

 

44.400.000

 

14.800.000

 

Keterangan: Depresiasi/amortisasi dengan menggunakan metode garis lurus dengan nilai sisa 0 (nol)

 

Dari Tabel 5.2 di atas dapat diketahui bahwa untuk asumsi luas lahan 1.000 m² (terdapat 10 kolam dengan ukuran masing-masing kolam adalah 50 m²) jumlah biaya investasinya adalah sebesar Rp44.400.000,-.

 

2. Biaya Operasional

Biaya operasional untuk budidaya pembesaran ikan lele meliputi biaya tenaga kerja (gaji pengelola dan upah pekerja), benih ikan lele, bahan-bahan (pakan, pupuk, kapur, obat-obatan), biaya listrik serta biaya pemeliharaan. Rincian biaya operasional budidaya pembesaran ikan lele per tahun selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.3.

Tabel 5.3. Biaya Operasional Budidaya Pembesaran Ikan Lele (1.000 m²)

No.

Komponen Biaya Operasional

Volume

Satuan

Harga Satuan (Rp)

Biaya 1 Siklus (Rp)

Biaya 1 Tahun (Rp.)

 
 

A.

Biaya Tenaga Kerja

 

 

 

 

 

 

1.

Gaji Pengelola

3

orang bulan

750.000

2.250.000

9.000.000

 

2.

Upah pekerja

3

orang bulan

600.000

1.800.000

7.200.000

 

 

Total Biaya Tenaga Kerja

 

 

 

4.050.000

16.200.000

 

B.

Biaya Bahan

 

 

 

 

 

 

1.

Benih

70.000

ekor/siklus

125

8.750.000

35.000.000

 

2.

Pakan/pellet

6.650

kg/siklus

4.250

28.262.500

113.050.000

 

3.

Pupuk, kapur, obat-obatan

5%

dari biaya benih/siklus

 

437.500

1.750.000

 

 

Total Biaya Bahan

 

 

 

37.450.000

149.800.000

 

C.

Biaya listrik

3

bulan

150.000

450.000

1.800.000

 

D.

Biaya Pemeliharaan

1

siklus

150.000

150.000

600.000

 

Total Biaya Operasional

42.100.000

168.400.000

 

Sumber: Hasil Simulasi BI.

 

 

Kebutuhan Dana Investasi dan Modal Kerja

Kebutuhan dana untuk budidaya pembesaran ikan lele dapat dirinci atas dasar biaya investasi dan biaya operasional. Pembudidaya biasanya membutuhkan kredit di awal usaha, yaitu untuk biaya investasi dan biaya operasional. Besarnya dana untuk investasi dan modal kerja pembukaan usaha budidaya pembesaran ikan lele ini adalah sebesar Rp86.500.000,- (biaya investasi sebesar Rp44.400.000,- dan modal kerja sebesar biaya operasional selama 1 (satu) siklus yaitu sebesar Rp42.100.000,-). Dari jumlah kebutuhan dana sebesar itu, sebanyak Rp60.550.000,- didapatkan dari perbankan (70%), sedangkan sisanya (30%) yaitu Rp25.950.000,- harus disediakan oleh pembudidaya sendiri.

Biaya investasi untuk pembukaan budidaya ikan lele seluas 1.000 m² adalah sebesar Rp44.400.000,-. Dana yang diperoleh dari perbankan adalah Rp31.080.000,- atau 70% dari total dana yang dibutuhkan, dan sisanya (30%) atau sebesar Rp13.320.000,- harus disediakan sendiri oleh pembudidaya. Disamping itu, pembudidaya juga membutuhkan biaya operasional selama usaha budidaya pembesaran ikan lele. Jumlah modal kerja dalam satu siklus adalah sebesar Rp42.100.000,-. Dana untuk modal kerja tersebut sebesar 70 persennya (Rp29.470.000,-) diperoleh dari perbankan, dan sisanya yang sebesar 30% atau sebesar Rp12.630.000,- dipenuhi dari dana sendiri. Besarnya dana usaha budidaya pembesaran ikan lele secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 5.4.

 


Tabel 5.4.  Kebutuhan Dana Budidaya Pembesaran Ikan Lele (1.000 m2)

Uraian

Dana Pinjaman 70% (Rp)

Dana Sendiri 30% (Rp)

Jumlah Total (Rp)

 
 

Modal Investasi

31.080.000

13.320.000

44.400.000

 

Modal Kerja (1 siklus )

29.470.000

12.630.000

42.100.000

 

Jumlah

60.550.000

25.950.000

86.500.000

 

Sumber: Hasil Simulasi BI.

Sumber kredit pembiayaan usaha pembesaran ikan lele ini adalah dari kredit dari perbankan yang ketentuannya berbeda untuk masing-masing bank. Berdasarkan penelitian lapangan diketahui bahwa sebagian besar adalah berasal dari Bank BRI yaitu melalui skim Kupedes. Pinjaman untuk investasi maupun modal kerja mempunyai tingkat suku bunga yang sama yaitu 21% dengan jangka waktu yang berbeda. Kredit investasi mempunyai jangka waktu pengembalian sampai 5 tahun, sedangkan kredit modal kerja mempunyai jangka waktu pengembalian 1-3 tahun, tanpa waktu tenggang (grace period). Angsuran pokok dan bunga dibayarkan secara angsuran per bulan selama periode peminjaman.

Pada analisis ini pembudidaya melakukan peminjaman sebesar Rp31.080.000,- sebagai kredit investasi dengan jangka waktu pengembalian 3 tahun. Sedangkan untuk kredit modal kerja adalah sebesar Rp29.470.000,- dengan jangka waktu pengembalian 1 tahun. Keduanya tanpa grace period dan dengan suku bunga 21%. Dengan demikian untuk rincian angsuran per bulan (pokok dan bunga) untuk kedua jenis kredit tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.5 dan Tabel 5.6.

 

Tabel 5.5. Perhitungan Angsuran Kredit Investasi

Tahun ke

Angsuran Pokok
(Rp)

Bunga
(Rp)

Jumlah Angsuran
(Rp)

1

10.360.000

5.529.650

15.889.650

2

10.360.000

3.354.050

13.714.050

3

10.360.000

1.178.450

11.538.450

Total
3 Tahun

31.080.000

10.062.150

41.142.150

 

Tabel 5.6. Perhitungan Angsuran Kredit Modal Kerja

Bulan ke

Angsuran Pokok
(Rp)

Bunga
(Rp)

Jumlah Angsuran
(Rp)

Saldo Pokok Pinjaman
(Rp)

1

2.455.833

515.725

2.971.558

27.014.167

2

2.455.833

472.748

2.928.581

24.558.333

3

2.455.833

429.771

2.885.604

22.102.500

4

2.455.833

386.794

2.842.627

19.646.667

5

2.455.833

343.817

2.799.650

17.190.833

6

2.455.833

300.840

2.756.673

14.735.000

7

2.455.833

257.863

2.713.696

12.279.167

8

2.455.833

214.885

2.670.719

9.823.333

9

2.455.833

171.908

2.627.742

7.367.500

10

2.455.833

128.931

2.584.765

4.911.667

11

2.455.833

85.954

2.541.788

2.455.833

12

2.455.833

42.977

2.498.810

0

Total
1 Tahun

29.470.000

3.352.213

32.822.213

 

Sumber: Hasil Simulasi BI.

 

Proyeksi Produksi dan Pendapatan

Usaha budidaya pembesaran ikan lele langsung mulai dapat menghasilkan pada tahun pertama, tepatnya yaitu pada tahun pertama bulan ke-3. Dengan menggunakan asumsi tingkat mortalitas sebesar 10%, maka dalam satu siklus budidaya atau 3 bulan (dengan rincian 2,5 bulan untuk periode pembesaran dan 0,5 bulan sebagai waktu jeda antar siklus), maka akan diperoleh hasil produksi sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 5.7.

 

 

 

 

 

 

 

 

Tabel 5.7.  Perhitungan Jumlah Produksi dan Pendapatan

Keterangan

1 Siklus
(3 Bulan)

1 Tahun

Jumlah produksi (ekor)

70.000 ekor x 95%
= 66.500 ekor

66.500 ekor x 4
= 266.000 ekor

Jumlah produksi (kg)*

66.500 ekor : 10
= 6.650 kg

6.650 kg x 4                    = 26.600 kg

Jumlah pendapatan (Rp)

6.650 kg x Rp8.500,- = Rp56.525.000,-

26.600 kg x Rp8.500,-
= Rp226.100.000,-

Keterangan: * Diasumsikan 1 kg rata-rata terdiri atas 10 ekor

 

Berdasarkan wawancara dengan pembudidaya, harga ikan lele konsumsi berada pada kisaran Rp8.000,- sampai dengan Rp12.000,- per kilogram. Namun dalam analisis keuangan ini, harga jual ikan lele konsumsi diasumsikan tetap selama periode proyek yaitu sebesar Rp8.500,- per kilogram. Angka ini didasarkan dari informasi penerimaan pembudidaya secara wajar (harga di tingkat pembudidaya).

 

Proyeksi Rugi Laba dan BEP

Hasil proyeksi rugi laba menunjukkan bahwa pada tahun pertama, usaha pembesaran ikan lele ikan mampu menghasilkan keuntungan bersih sebesar Rp 28,915,417,- dengan profit margin sebesar 12,79%.  Pada tahun selanjutnya besarnya keuntungan dan profit margin lebih tinggi sejalan dengan lunasnya  kredit yang harus dibayar. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa BEP rata-rata penjualan per tahun sebesar Rp  127,554,185,- sementara BEP rata-rata produksi per tahun sebesar 15.006. kg.  Secara lebih rinci besarnya keuntungan, profit margin dan BEP setiap tahunnya ditunjukkan pada Tabel 5.8.

 


Tabel 5.8.  Proyeksi Laba Rugi Usaha Budidaya Pembesaran Ikan Lele (Rp)

 

No

Uraian

Tahun 1

Tahun 2

Tahun 3

1

Pendapatan

226,100,000

226,100,000

226,100,000

2

Pengeluaran

 

 

 

 

a. Biaya Operasional

168,400,000

168,400,000

168,400,000

 

b. Penyusutan

14,800,000

14,800,000

14,800,000

 

c. Bunga

8,881,863

3,354,050

1,178,450

 

Total pengeluaran

192,081,863

186,554,050

184,378,450

3

Laba sebelum pajak

34,018,138

39,545,950

41,721,550

4

- Pajak (15%)

5,102,721

5,931,893

6,258,233

5

Laba rugi

28,915,417

33,614,058

35,463,318

6

Profit Margin

12.79%

14.87%

15.68%

7

BEP :

 

 

 

 

- Nilai Penjualan (Rp)

127,554,185

127,554,185

127,554,185

 

- Volume Penjualan (Kg)

15,006

15,006

15,006

Sumber: Hasil Simulasi BI.

 

Proyeksi Arus Kas dan Kelayakan Proyek

Proyeksi rugi laba dan analisis kelayakan proyek budidaya pembesaran ikan lele selama umur ekonomis proyek (3 tahun) secara lengkap menunjukkan potensi keuntungan yang besar. Untuk menganalisis kelayakan usaha pembesaran ikan lele ini dihitung dengan kriteria Internal Rate of Return (IRR), Net Present Value (NPV), dan Net Benefit Cost Ratio (Net B/C Ratio). Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 5.8 .

 

Tabel 5.8. Hasil Analisis Kelayakan UsahaBudidaya Pembesaran Ikan Lele (1.000 m²)

 

Kriteria Kelayakan

Nilai

Justifikasi Kelayakan

 
 

NPV

Rp 21.354.677,-

> 0 (positif)

 

IRR

36,54%

> 21%

 

Net B/C Ratio

1,25

> 1

 

Sumber: Hasil Simulasi BI.

 

 

Nilai IRR sebesar 36,54% mengimplikasikan bahwa proyek ini layak untuk dijalankan sampai tingkat suku bunga mencapai 36,54%. Dengan menggunakan discount rate 21%,  Net B/C Ratio memiliki nilai 1,25. Karena Net B/C Ratio lebih besar dari 1 maka usaha ini layak untuk dilaksanakan. Net Present Value juga bernilai positif, yaitu Rp21.354.677,-  sehingga proyek layak dilaksanakan.

 

Analisis Sensitivitas

Dalam analisis kelayakan proyek, banyak asumsi yang digunakan. Untuk menguji sensitivitas proyek terhadap perubahan asumsi pendapatan dan biaya operasional, maka dilakukan analisis sensitivitas dengan beberapa skenario sebagai berikut:

  1. Skenario 1, usaha mengalami penurunan pendapatan sedangkan biaya operasional dan komponen lain tetap. Pendapatan dapat menurun jika terjadi penurunan hasil produksi dan permintaan konsumen atau penurunan harga jual produk.
  2. Skenario 2, usaha mengalami kenaikan biaya operasional sedangkan pendapatan dan komponen lain tetap/konstan. Biaya operasional dapat meningkat jika terjadi kenaikan harga sarana produksi, peralatan maupun komponen-komponen biaya operasional lainnya.
  3. Skenario 3, usaha mengalami penurunan pendapatan dan kenaikan biaya operasional secara bersama-sama, yang mungkin terjadi karena terjadi penurunan hasil produksi dan permintaan konsumen atau penurunan harga jual produk dan diikuti oleh kenaikan biaya operasional karena kenaikan harga sarana produksi, peralatan maupun komponen-komponen biaya operasional lainnya.

 

Hasil analisis sensitivitas untuk Skenario 1 secara lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 5.9.

Tabel 5.9. Hasil Analisis Sensitivitas Usaha Skenario 1

Kriteria Kelayakan

Pendapatan Turun

4%

5%

NPV

Rp2.608.021,-

Rp(2.081.144,-)

IRR

22,95%

19,43%

Net B/C Ratio

1,03

0,98

Sumber: Hasil Simulasi BI.

 

Pada Skenario 1 dengan asumsi terjadi penurunan penerimaan/pendapatan sampai 4 persen maka usaha ini masih layak untuk dilaksanakan dengan nilai IRR yang masih lebih besar daripada tingkat suku bunga yaitu sebesar 22,95%, nilai NPV yang masih positif yaitu sebesar Rp2.608.021,- dan nilai Net B/C Ratio yang masih lebih besar daripada 1 yaitu sebesar 1,03. Akan tetapi pada saat penerimaan/ pendapatan turun sebesar 5 persen, usaha ini sudah tidak layak untuk dilaksanakan lagi. Hal ini karena nilai IRR-nya sudah dibawah tingkat suku bunga yang ditetapkan yaitu sebesar 19,43%, nilai NPV-nya sudah negatif yaitu sebesar  Rp. (2.081.144,-) dan nilai Net B/C Ratio-nya lebih kecil daripada 1 yaitu sebesar 0,98.

Adapun hasil analisis sensitivitas untuk Skenario 2 selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.10.

 

Tabel 5.10. Hasil Analisis Sensitivitas Usaha Skenario 2

Kriteria Kelayakan

Biaya Operasional Naik

6%

7%

NPV

Rp409.651,-

- Rp3.082.853,-

IRR

21,31%

18,67%

Net B/C Ratio

1,00

0,96

Sumber: Hasil Simulasi BI.

 

Dalam Skenario 2 dengan asumsi terjadi kenaikan biaya operasional sampai 6 persen usaha ini masih layak untuk dilaksanakan karena nilai IRR yang masih lebih besar daripada tingkat suku bunga yaitu sebesar 21,31%, nilai NPV yang masih positif yaitu sebesar Rp409.651,- dan nilai Net B/C Ratio yang masih lebih besar daripada atau sama dengan 1 yaitu sebesar 1,00. Akan tetapi pada saat biaya operasional meningkat sebesar 7%n, usaha ini sudah tidak layak untuk dilaksanakan lagi. Hal ini karena nilai IRR-nya sudah dibawah tingkat suku bunga yang ditetapkan yaitu sebesar 18,67%, nilai NPV-nya sudah negatif yaitu sebesar Rp3.082.853,- dan nilai Net B/C Ratio-nya lebih kecil daripada 1 yaitu sebesar 0,96.

Sementara hasil analisis sensitivitas untuk Skenario 3 secara rinci dapat dilihat pada Tabel 5.11.

 

Tabel 5.11. Hasil Analisis Sensitivitas Usaha Skenario 3

Kriteria Kelayakan

Pendapatan Turun dan
Biaya Operasional Naik

2%

3%

NPV

Rp5.001.340,-

Rp (3.180.328,-)

IRR

24,72%

18,60%

Net B/C Ratio

1,06

0,96

Sumber: Hasil Simulasi BI.

 

Sebagaimana disajikan pada Tabel 5.11, dapat diketahui bahwa pada Skenario 3 yaitu adanya penurunan pendapatan dan kenaikan biaya operasional secara bersama-sama dengan persentase sebesar 2 persen maka usaha ini masih layak untuk dilaksanakan. Hal ini karena nilai IRR yang masih lebih besar daripada tingkat suku bunga yaitu sebesar 24,72%, nilai NPV yang masih positif yaitu sebesar Rp5.001.340,- dan nilai Net B/C Ratio yang masih lebih besar daripada 1 yaitu sebesar 1,06. Namun pada saat terjadi penurunan pendapatan dan kenaikan biaya operasional secara bersama-sama dengan persentase sebesar 3 persen, usaha ini sudah tidak layak untuk dilaksanakan lagi. Hal ini karena nilai IRR-nya sudah dibawah tingkat suku bunga yang ditetapkan yaitu sebesar 18,60%, nilai NPV-nya sudah negatif yaitu sebesar Rp (3.180.328,-) dan nilai Net B/C Ratio-nya lebih kecil daripada 1 yaitu sebesar 0,96.

Analisis sensitivitas secara umum menunjukkan bahwa penurunan pendapatan lebih sensitif dibandingkan dengan peningkatan biaya operasional. Hal ini terbukti dari penurunan pendapatan sebesar 5% proyek sudah tidak layak, sedangkan peningkatan biaya operasional sampai 6% proyek masih layak dilaksanakan. Namun demikian dari hasil analisis keuangan secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa usaha budidaya pembesaran ikan lele merupakan usaha yang cukup menguntungkan dan layak untuk dilaksanakan.

 

ASPEK SOSIAL EKONOMI

Kegiatan budidaya ikan lele secara langsung memberikan keuntungan secara ekonomis yang dapat dinikmati oleh masyarakat, antara lain:

  1. Penyerapan tenaga kerja sehingga dapat mengurangi adanya pengangguran.
  2. Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) bagi pemerintah daerah setempat.
  3. Meningkatkan pendapatan masyarakat baik petani pembudidaya ikan lele secara langsung maupun pelaku usaha yang terlibat secara tidak langsung seperti pedagang pengentas ikan, usaha pemancingan, rumah makan khas ikan serta para penyedia jasa yang berkaitan dengan adanya usaha budidaya ikan lele ini.
  4. Usaha ini juga memiliki kaitan ke belakang/hulu (backward linkage) antara lain pada usaha pasokan pupuk kandang (ke peternak) dan pupuk buatan (penyedia sarana produksi perikanan) serta kaitan ke depan/hilir (forward linkage) seperti pada usaha perdagangan, pengangkutan dan sebagainya.

 

Selain dampak ekonomi, usaha budidaya ini juga berdampak positif terhadap kondisi sosial masyarakat seperti berkurangnya pengangguran. Selain itu bagi pembudidaya yang tergabung dalam kelompok, akan semakin meningkatkan interaksi sosial antar anggota kelompok sekaligus meningkatkan rasa gotong royong dan kesetiakawanan sosial di antara mereka.

 

ASPEK DAMPAK LINGKUNGAN

Secara umum usaha budidaya ikan lele sebagai suatu kegiatan produksi tidak menghasilkan limbah yang berbahaya bagi lingkungan sekitarnya. Salah satu pencemaran yang mungkin timbul adalah pencemaran udara (bau). Namun hal ini tidak membahayakan bagi kesehatan serta masyarakat sudah terbiasa dengan kondisi tersebut mengingat hampir seluruh masyarakat sekitar lokasi usaha melakukan usaha budidaya serupa.

Limbah yang lain adalah berupa sampah ikutan dari pembelian bahan-bahan sarana produksi antara lain berupa bekas kemasan pupuk organik maupun anorganik, serta botol-botol plastik bekas obat-obatan. Namun demikian jumlah limbah bekas kemasan ini tidak terlalu banyak dan masih dapat dikelola dengan cara dijual kepada pemulung barang bekas atau dipakai sendiri untuk keperluan lain.

Adapun untuk jenis limbah yang lain adalah limbah cair yaitu berupa limbah bekas air kolam yang dikuras kemudian beberapa pembudidaya membuangnya ke sungai. Namun jenis limbah cair ini pun baik secara fisik, kimiawi maupun biologi tidak berbahaya bagi lingkungan, disamping frekuensinya yang sangat jarang.

 

 
 
 
KESIMPULAN DAN SARAN

 

Kesimpulan

  1. Secara umum usaha budidaya ikan lele mempunyai prospek pasar yang cerah. Dengan adanya peluang pasar yang masih terbuka tersebut maka usaha budidaya ikan lele merupakan sebuah usaha yang masih sangat menjanjikan.
  2. Kendala yang dihadapi oleh petani/pembudidaya ikan lele terutama adalah masih banyak petani yang belum mampu melakukan pengolahan pasca panen akibat kurangnya pengetahuan dan teknologi.   Hal lain yang masih menjadi kendala adalah belum mampunya petani dalam menjalin networking langsung kepada konsumen/pelanggan khususnya pelanggan besar dalam rangka untuk menjamin kontinuitas pasar. Petani juga masih lemah dalam menjalin komunikasi dengan komunitas pasar yang ada. Padahal hal tersebut sangat bermanfaat untuk mendapatkan akses informasi yang sempurna tentang kondisi pasar, baik dalam hal harga maupun besarnya permintaan pasar.
  3. Selama ini pemberian kredit untuk pengembangan usaha budidaya ikan lele di Kabupaten Ponorogo dan sekitarnya sudah dilakukan oleh beberapa perbankan/lembaga keuangan lainnya, meskipun bank-bank tersebut belum memiliki skema pinjaman khusus untuk usaha budidaya ikan lele. Pinjaman yang dapat diberikan oleh perbankan untuk usaha ini dapat berupa kredit investasi maupun kredit modal kerja dengan tingkat bunga berkisar 21%.
  4. Hasil analisis Laba Rugi menunjukkan bahwa bahwa usaha budidaya pembesaran ikan lele mampu menghasilkan keuntungan bersih sebesar Rp 28.915.417,- dengan profit margin sebesar 12,79%.
  5. Hasil analisis kelayakan usaha menunjukkan bahwa usaha budidaya pembesaran ikan lele memiliki nilai IRR yang cukup tinggi yaitu sebesar 36,54% yang mengimplikasikan bahwa proyek ini layak untuk dijalankan sampai tingkat suku bunga mencapai 36,54%. Nilai Net B/C Ratio usaha ini juga lebih besar daripada 1, yaitu sebesar 1,25; karena Net B/C Ratio > 1 maka usaha ini layak untuk dilaksanakan. Net Present Value juga bernilai positif, yaitu Rp21.364.677,- sehingga proyek layak dilaksanakan.
  6. Berdasarkan analisis sensitivitas Skenario 1 (dengan asumsi terjadi penurunan pendapatan sampai 4 persen), usaha ini masih layak untuk dilaksanakan karena nilai IRR yang masih lebih besar daripada tingkat suku bunga yaitu sebesar 22,95%, nilai NPV yang masih positif yaitu sebesar Rp2.608.021,- dan nilai Net B/C Ratio yang masih lebih besar daripada 1 yaitu sebesar 1,03. Akan tetapi pada saat penerimaan/pendapatan turun sebesar 5 persen, usaha ini sudah tidak layak untuk dilaksanakan lagi. Hal ini karena nilai IRR-nya sudah dibawah tingkat suku bunga yang ditetapkan yaitu sebesar 19,43%, nilai NPV-nya sudah negatif yaitu sebesar - Rp2.081.144,- dan nilai Net B/C Ratio-nya lebih kecil daripada 1 yaitu sebesar 0,98.
  7. Berdasarkan analisis sensitivitas Skenario 2, yaitu dengan asumsi terjadi kenaikan biaya operasional sampai 6 persen usaha ini masih layak untuk dilaksanakan karena nilai IRR yang masih lebih besar daripada tingkat suku bunga yaitu sebesar 21,31%, nilai NPV yang masih positif yaitu sebesar Rp409.651,- dan nilai Net B/C Ratio yang masih lebih besar daripada atau sama dengan 1 yaitu sebesar 1,00. Akan tetapi pada saat biaya operasional meningkat sebesar 7%, usaha ini sudah tidak layak untuk dilaksanakan lagi. Hal ini karena nilai IRR-nya sudah dibawah tingkat suku bunga yang ditetapkan yaitu sebesar 18,67%, nilai NPV-nya sudah negatif yaitu sebesar – Rp3.082.853,- dan nilai Net B/C Ratio-nya lebih kecil daripada 1 yaitu sebesar 0,96.
  8. Berdasarkan analisis sensitivitas Skenario 3, yaitu adanya penurunan pendapatan dan kenaikan biaya operasional secara bersama-sama dengan persentase sebesar 2%, usaha ini masih layak untuk dilaksanakan. Hal ini karena nilai IRR yang masih lebih besar daripada tingkat suku bunga yaitu sebesar 24,72%, nilai NPV yang masih positif yaitu sebesar Rp5.001.340,- dan nilai Net B/C Ratio yang masih lebih besar daripada 1 yaitu sebesar 1,06. Namun pada saat terjadi penurunan pendapatan dan kenaikan biaya operasional secara bersama-sama dengan persentase sebesar 3%, usaha ini sudah tidak layak untuk dilaksanakan lagi. Hal ini karena nilai IRR-nya sudah dibawah tingkat suku bunga yang ditetapkan yaitu sebesar 18,60%, nilai NPV-nya sudah negatif yaitu sebesar   – Rp3.180.328,- dan nilai Net B/C Ratio-nya lebih kecil daripada 1 yaitu sebesar 0,96.
  9. Usaha budidaya ikan lele memberikan dampak positif terhadap kehidupan  ekonomi masyarakat dalam bentuk penyerapan tenaga kerja/mengurangi pengangguran, meningkatkan pendapatan petani pembudidaya ikan lele maupun pelaku usaha yang terlibat secara tidak langsung seperti pedagang pengentas ikan, usaha pemancingan, rumah makan khas ikan, usaha pasokan pupuk kandang (peternak) dan pupuk buatan (penyedia sarana produksi perikanan), pengangkutan serta para penyedia jasa lainnya yang berkaitan dengan adanya usaha budidaya ikan lele. Disamping itu, usaha budidaya ini juga berdampak positif terhadap kehidupan sosial masyarakat serta berkontribusi positif terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) bagi pemerintah daerah setempat.

 

Secara umum usaha budidaya ikan lele sebagai suatu kegiatan produksi tidak menghasilkan pencemaran/limbah yang berbahaya bagi lingkungan sekitarnya baik secara fisik, kimiawi maupun biologi.

 

Saran rekomendasi

  1. Budidaya ikan lele yang saat ini dikembangkan akan lebih baik apabila diintegrasikan dengan usaha lain (sistem longyam, minapadi atau aquaponik). Hal ini karena secara ekonomi akan lebih menguntungkan dan dalam pemanfaatan pakan lebih efisien. Dengan sistem ini, satu lahan digunakan untuk dua jenis usaha sekaligus. Selain itu pembudidaya akan mempunyai jenis pendapatan yang lebih bervariasi sehingga jika terjadi penurunan atau kegagalan pada salah satu komoditi, komoditi yang lain bisa saling menutupi.
  2. Untuk lebih meningkatkan efisiensi, produktivitas serta kualitas hasil budidaya, pembudidaya perlu lebih ditingkatkan kesadaran, pengetahuan, serta pemahamannya terhadap teknologi. Disamping itu juga selalu ditingkatkan kemampuan manajerialnya termasuk pula akses terhadap sumber-sumber permodalan yang mudah dan murah, diversifikasi komoditi produk olahan/pasca panen, penguasaan terhadap pasar serta promosi.
  3. Pemerintah melalui instansi terkait perlu lebih meningkatkan sosialisasi master plan pembangunan sektor perikanan yang terintegrasi, koordinasi dan sinergi antar institusi terkait, penyusunan kebijakan/perencanaan, regulasi serta pengawasan yang berpihak kepada petani, promosi investasi/ pemasaran, peningkatan partisipasi stakeholders yang terdiri dari para pembudidaya ikan, pengusaha perikanan, ilmuwan, penyuluh, aparat keamanan dan birokrat, penyediaan fasilitas pendukung yang terdiri dari fasilitas fisik dan kelembagaan yang meliputi kelembagaan keuangan, asuransi, LSM, lembaga pemasaran, asosiasi serta perumusan kebijakan yang mendukung strategi lanjutan seperti distribusi, pemasaran, serta menjamin ketersediaan benih dan induk.

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar