Sabtu, 19 Mei 2012

Penilaian terhadap Hutan di Indonesia

Konsep nilai ekonomi total dan metode penilaian ekonomi mencoba untuk memberikan “nilai” terhadap seluruh manfaat yang dihasilkan hutan baik yang bersifat diperdagangkan dan memiliki harga pasar maupun yang tidak memiliki harga pasar. Hal tersebut sangat dibutuhkan mengingat masalah yang timbul pada saat pengambil kebijakan berusaha untuk menyeimbangkan antara dua tujuan dalam pengelolaan hutan yaitu manfaat produksi dan manfaat lingkungan, membutuhkan suatu dasar dan rekomendasi untuk menentukan alokasi sumberdaya alam yang adil.

Hutan Indonesia menghasilkan berbagai manfaat yang dapat dirasakan pada tingkatan lokal, nasional, maupun global. Manfaat tersebut terdiri atas manfaat nyata yang terukur (tangible) berupa hasil hutan kayu, hasil hutan non kayu seperti rotan, bambu, damar dan lain-lain, serta manfaat tidak terukur (intangible) berupa manfaat perlindungan lingkungan, keragaman genetik dan lain-lain. Saat ini berbagai manfaat yang dihasilkan tersebut masih dinilai secara rendah sehingga menimbulkan terjadinya eksploitasi hutan yang berlebih. Hal tersebut disebabkan karena masih banyak pihak yang belum memahami nilai dari berbagai manfaat hutan secara komperehensif. Untuk memahami manfaat dari hutan tersebut perlu dilakukan penilaian terhadap semua manfaat yang dihasilkan hutan ini. Penilaian sendiri merupakan upaya untuk menentukan nilai atau manfaat dari suatu barang atau jasa untuk kepentingan manusia.

Dengan diketahuinya manfaat dari hutan dan SDH ini maka hal tersebut dapat dijadikan rekomendasi bagi para pengambil kebijakan untuk mengalokasikan sumberdaya alam (SDA) yang semakin langka dan melakukan distribusi manfaat SDA yang adil. Terlebih dengan meningkatnya pertambahan penduduk saat ini yang menyebabkan timbulnya tekanan yang serius terhadap hutan dan SDH, menyebabkan perlunya penyempurnaan pengelolaan SDA melalui penilaian akurat terhadap nilai ekonomi sumberdaya alam yang sesungguhnya.

Manfaat SDH sendiri tidak semuanya memiliki harga pasar, sehingga perlu digunakan pendekatan-pendekatan untuk mengkuantifikasi nilai ekonomi SDH dalam satuan moneter. Sebagai contoh manfaat hutan dalam menyerap karbon, dan manfaat ekologis serta lingkungan lainnya. Karena sifatnya yang non market tersebut menyebabkan banyak manfaat SDH belum dinilai secara memuaskan dalam perhitungan ekonomi. Tetapi saat ini, kepedulian akan pentingnya manfaat lingkungan semakin meningkat dengan melihat kondisi SDA yang semakin terdegradasi. Untuk itu dikembangkan berbagai metode dan teknik penilaian manfaat SDH, baik untuk manfaat SDH yang memiliki harga pasar ataupun tidak, dalam satuan moneter.

Nilai merupakan persepsi manusia tentang makna suatu objek (sumberdaya hutan) bagi individu tertentu pada tempat dan waktu tertentu. Oleh karena itu akan terjadi keragaman nilai sumberdaya hutan berdasarkan pada persepsi dan lokasi masyarakat yang berbeda-beda. Nilai sumberdaya hutan sendiri bersumber dari berbagai manfaat yang diperoleh masyarakat. Masyarakat yang menerima manfaat secara langsung akan memiliki persepsi yang positif terhadap nilai sumberdaya hutan, dan hal tersebut dapat ditunjukkan dengan tingginya nilai sumberdaya hutan tersebut.

Hal tersebut mungkin berbeda dengan persepsi masyarakat yang tinggal jauh dari hutan dan tidak menerima manfaat secara langsung.  Nilai sumberdaya hutan ini dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa kelompok. Davis dan Johnson (1987) mengklasifikasi nilai berdasarkan cara penilaian atau penentuan besar nilai dilakukan, yaitu : (a) nilai pasar, yaitu nilai yang ditetapkan melalui transaksi pasar, (b) nilai kegunaan, yaitu nilai yang diperoleh dari penggunaan sumberdaya tersebut oleh individu tertentu, dan (c) nilai sosial, yaitu nilai yang ditetapkan melalui peraturan, hukum, ataupun perwakilan masyarakat. Sedangkan Pearce (1992) dalam Munasinghe (1993) membuat klasifikasi nilai manfaat yang menggambarkan Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) berdasarkan cara atau proses manfaat tersebut diperoleh.

 

clip_image001

 

 

 

 


Gambar 1. Nilai ekonomi total dari sumberdaya hutan (Pearce, 1992 dalam Munasinghe 1993).

 

Nilai ekonomi total (NET) merupakan penjumlahan dari nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung dan nilai non guna, dengan formulasi sebagai berikut (Pearce, 1992) :

NET = Nilai Guna Langsung + Nilai Guna Tidak Langsung + Nilai Pilihan +

Nilai Ekonomi Total (NET) merupakan penjumlahan dari nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung dan nilai non guna.

Nilai guna langsung merupakan nilai dari manfaat yang langsung dapat diambil dari SDH. Sebagai contoh manfaat penggunaan sumber daya hutan sebagai input untuk proses produksi atau sebagai barang konsumsi. Berbeda dengan nilai guna tidak langsung, yaitu nilai dari manfaat yang secara tidak langsung dirasakan manfaatnya, dan dapat berupa hal yang mendukung nilai guna langsung, seperti berbagai manfaat yang bersifat fungsional yaitu berbagai manfaat ekologis hutan. Sedangkan nilai bukan guna yaitu semua manfaat yang dihasilkan bukan dari hasil interaksi secara fisik antara hutan dan konsumen (pengguna).

 

Nilai pilihan, mengacu kepada nilai penggunaan langsung dan tidak langsung yang berpotensi dihasilkan di masa yang akan datang. Hal ini meliputi manfaat-manfaat sumber daya alam yang “disimpan atau dipertahankan” untuk kepentingan yang akan datang (sumber daya hutan yang disisihkan untuk pemanenan yang akan datang), apabila terdapat ketidakpastian akan ketersediaan SDH tersebut, untuk pemanfaatan yang akan datang. Contoh lainnya adalah sumber daya genetik dari hutan tropis untuk kepentingan masa depan. Sedangkan, nilai bukan guna meliputi manfaat yang tidak dapat diukur yang diturunkan dari keberadaan hutan di luar nilai guna langsung dan tidak langsung. Nilai bukan guna terdiri atas nilai keberadaan dan nilai warisan. Nilai keberadaan adalah nilai kepedulian seseorang akan keberadaan suatu SDH berupa nilai yang diberikan oleh masyarakat kepada kawasan hutan atas manfaat spiritual , estetika dan kultural. Sementara nilai warisan adalah nilai yang diberikan masyarakat yang hidup saat ini terhadap SDH, agar tetap utuh untuk diberikan kepada generasi akan datang. Nilai-nilai ini tidak terefleksi dalam harga pasar (Bishop, 1999).

 

Jumat, 18 Mei 2012

JENIS HUTAN MANGROVE

I.                         PENDAHULUAN

 

 

Pada berbagai bentang alam di muka bumi terdapat berbagai macam formasi hutan berdasarkan tempat tumbuhnya.  Di Indonesia, terdapat tujuh macam formasi hutan yaitu hutan hujan tropika, hutan musim, hutan kerangas,  hutan gambut, hutan rawa, hutan pantai dan hutan mangrove.

Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Dalam bahasa Inggris, kata mangrove digunakan untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang-surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Sedangkan dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan dan kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut.

Food and Agricultural Organization (FAO, 2003) mengartikan mangrove sebagai vegetasi yang tumbuh di lingkungan estuaria pantai yang dapat ditemui di garis pantai tropika dan subtropika yang bisa memiliki fungsi-fungsi sosial ekonomi dan lingkungan.

 

Secara umum, penyebaran mangrove di dunia dibagi ke dalam dua kelompok :

-          The Old World Mangrove  yang meliputi Afrika Timur, Laut Merah, India, Asia Tenggara, Jepang, Filipina, Australia, New Zealand, Kepulauan Pasifik dan Samoa. Kelompok ini disebut Grup Timur.

-          The New World Mangrove  yang meliputi pantai atlantik dari Afrika dan Amerika,Meksiko, dan pantai Pasifik Amerika, dan kepulauan Galapagos. Kelompok ini disebut Grup Barat.

 

Walsh (1974) mencoba menjelaskan perbedaan pengembangan komunitas mengrove di dunia dengan membedakan lima persyaratan mendasar bagi mangrove untuk tumbuh: 1)suhu tropik, 2)daratan aluvial, 3)pantai yang tidak bergelombang besar, 4)salinitas dan 5)tingkat pasang surut air laut.  Kelima faktor lingkungan tersebut yang mempengaruhi pembentukan dan luasan mangrove, komposisi jenis, zonasi, karakteristik struktural lanilla, dan fungsi ekosistem itu sendiri. 

 

 

II.                 KLASIFIKASI HUTAN MANGROVE

 

Hutan mangrove meliputi pohon-pohonan dan semak yang terdiri dari 12 tumbuhan berbunga (Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus) yang termasuk ke dalam 8 famili.  Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, dengan jumlah jenis tercatat sebanyak 202 jenis yang terdiri atas 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 1 jenis sikas.  Namun demikian hanya terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan mangrove.  Paling tidak di dalam hutan mangrove terdapat salah satu jenis tumbuhan dominan yang termasuk ke dalam empat famili:  Rhizophoraceae (Rhizophora, Bruguiera, Ceriops), Sonneratiaceae (Sonneratia), Avicenniaceae (Avicennia), dan Meliaceae (Xylocarpus) (Bengen, 2001).

 

Mangrove diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok mayor, kelompok minor dan kelompok asosiasi mangrove. Pengertian masing-masing kelompok tersebut adalah sebagai berikut :

 

2.1              Kelompok mayor

Kelompok ini merupakan vegetasi dominan dan merupakan komponen yang memperlihatkan karakter morfologi, seperti mangrove yang memiliki sistem perakaran udara dan mekanisme fisiologi khusus untuk mengeluarkan garam agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Komponennya penyusunnya berbeda taksonomi dengan tumbuhan daratan, hanya terjadi di hutan mangrove serta membentuk tegakan murni, tetapi tidak pernah meluas sampai ke dalam komunitas daratan.

Di Indonesia, mangrove yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah  Rhizopora apiculata, R. mucronata, Sonneratia alba, Avicennia marina, A. officinalis, Bruguiera gymnorhiza, B. cylinrica, B. parvifolia, B. sexangula, Ceriops tagal, Kandelia candel, Xylocarpus granatum, dan X. moluccensis.

-          Kelompok minor (vegetasi marginal) merupakan komponen yang tidak termasuk elemen yang menyolok dari tumbuh-tumbuhan yang mungkin terdapat di sekeliling habitatnya dan yang jarang berbentuk tegakan murni. Jenis-jenis ini biasanya bersekutu dengan mangrove yang tumbuh pada pinggiran yang mengarah ke darat dan terdapat secara musiman pada rawa air tawar, pantai, dataran landai, dan lokasi-lokasi mangrove lain yang marginal. Walaupun jenis ini ada di mangrove, tetapi jenis-jenis ini tidak terbatas pada zona litoral.Jenis-jenis ini yang penting di Indonesia adalah Bruguiera cylindrica, Lumnitzera racemosa, Xylocarpus moluccensis, Intsia bijuga, Nypa fruticans, Ficus retusa, F. microcorpa, Pandanus spp., Calamus erinaceus, Glochidion littorale, Scolopia macrophylla, dan Oncosperma tigillaria.

 

-          Asosiasi mangrove merupakan komponen yang jarang ditemukan spesies yang tumbuh di dalam komunitas mangrove yang sebenarnya dan kebanyakan sering ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan darat.

Oleh:Asihing Kustanti, S.Hut., M.Si.

Pengendalian Kebakaran Hutan

                                                                                                                                                       I.            PENDAHULUAN

 

Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai karena didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata dan sebagainya. Karena itu pemanfaatan hutan dan perlindungannya telah diatur dalam UUD 45, UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985 dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHPA dan Dirjen Pengusahaan Hutan. Namun gangguan terhadap sumberdaya hutan terus berlangsung bahkan intensitasnya makin meningkat.

Kebakaran hutan merupakan salah satu bentuk gangguan yang makin sering terjadi. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan cukup besar mencakup kerusakan ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati, merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktivitas tanah, perubahan iklim mikro maupun global, dan asapnya mengganggu kesehatan masyarakat serta mengganggu transportasi baik darat, sungai, danau, laut dan udara. Gangguan asap karena kebakaran hutan Indonesia akhir-akhir ini telah melintasi batas negara.

Berbagai upaya pencegahan dan perlindungan kebakaran hutan telah dilakukan termasuk mengefektifkan perangkat hukum (undang-undang, PP, dan SK Menteri sampai Dirjen), namun belum memberikan hasil yang optimal. Sejak kebakaran hutan yang cukup besar tahun 1982/83 di Kalimantan Timur, intensitas kebakaran hutan makin sering terjadi dan sebarannya makin meluas.

 

 

                                                                                                                                                                              II.            ISI

 

Kebakaran Hutan dan Faktor Penyebabnya

Api sebagai alat atau teknologi awal yang dikuasai manusia untuk mengubah lingkungan hidup dan sumberdaya alam dimulai pada pertengahan hingga akhir zaman Paleolitik, 1.400.000-700.000 tahun lalu. Sejak manusia mengenal dan menguasai teknologi api, maka api dianggap sebagai modal dasar bagi perkembangan manusia karena dapat digunakan untuk membuka hutan, meningkatkan kualitas lahan pengembalaan, memburu satwa liar, mengusir satwa liar, berkomunikasi sosial disekitar api unggun dan sebagainya (Soeriaatmadja, 1997).

Penyebab kebakaran hutan sampai saat ini masih menjadi topik perdebatan, apakah karena alami atau karena kegiatan manusia. Namun berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama kebakaran hutan adalah faktor manusia yang berawal dari kegiatan atau permasalahan sebagai berikut:

1.      Sistem perladangan tradisional dari penduduk setempat yang berpindah-pindah.

2.      Pembukaan hutan oleh para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk insdustri kayu maupun perkebunan kelapa sawit.

3.      Penyebab struktural, yaitu kombinasi antara kemiskinan, kebijakan pembangunan dan tata pemerintahan, sehingga menimbulkan konflik antar hukum adat dan hukum positif negara.

Kerugian dan Dampak Kebakaran Hutan

Areal hutan yang terbakar

Beberapa tahun terakhir kebakaran hutan terjadi hampir setiap tahun, khususnya pada musim kering. Kebakaran yang cukup besar terjadi di Kalimantan Timur yaitu pada tahun 1982/83 dan tahun 1997/98. Pada tahun 1982/83 kebakaran telah menghanguskan hutan sekitar 3,5 juta hektar di Kalimantan Timur dan ini merupakan rekor terbesar kebakaran hutan dunia setelah kebakaran hutan di Brazil yang mencapai 2 juta hektar pada tahun 1963 (Soeriaatmadja, 1997).

 

Kemudian rekor tersebut dipecahkan lagi oleh kebakaran hutan Indonesia pada tahun 1997/98 yang telah menghanguskan seluas 11,7 juta hektar. Kebakaran terluas terjadi di Kalimantan dengan total lahan terbakar 8,13 juta hektar, disusul Sumatera, Papua Barat, Sulawesi dan Jawa masing-masing 2,07 juta hektar, 1 juta hektar, 400 ribu hektar dan 100 ribu hektar (Tacconi, 2003).

 

Selanjutnya kebakaran hutan Indonesia terus berlangsung setiap tahun meskipun luas areal yang terbakar dan kerugian yang ditimbulkannya relatif kecil dan umumnya tidak terdokumentasi dengan baik. Data dari Direktotar Jenderal Perlindungan hutan dan Konservasi Alam menunjukkan bahwa kebakaran hutan yang terjadi tiap tahun sejak tahun 1998 hingga tahun 2002 tercatat berkisar antara 3 ribu hektar sampai 515 ribu hektar (Direktotar Jenderal Perlindungan hutan dan Konservasi Alam, 2003).

 

Kerugian yang ditimbulkannya

Kebakaran hutan akhir-akhir ini menjadi perhatian internasional sebagai isu lingkungan dan ekonomi khususnya setelah terjadi kebakaran besar di berbagai belahan dunia tahun 1997/98 yang menghanguskan lahan seluas 25 juta hektar. Kebakaran tahun 1997/98 mengakibatkan degradasi hutan dan deforestasi menelan biaya ekonomi sekitar  US $ 1,6-2,7 milyar dan biaya akibat pencemaran kabut sekitar US $ 674-799 juta. Kerugian yang diderita akibat kebakaran hutan tersebut kemungkinan jauh lebih besar lagi karena perkiraan dampak ekonomi bagi kegiatan bisnis di Indonesia tidak tersedia. Valuasi biaya yang terkait dengan emisi karbon kemungkinan mencapai US $ 2,8 milyar (Tacconi, 2003).

 

Hasil perhitungan ulang kerugian ekonomi yang dihimpun Tacconi (2003), menunjukkan bahwa kebakaran hutan Indonesia telah menelan kerugian antara US $ 2,84 milayar sampai US $ 4,86 milyar yang meliputi kerugian yang dinilai dengan uang dan kerugian yang tidak dinilai dengan uang. Kerugian tersebut mencakup kerusakan yang terkait dengan kebakaran seperti kayu, kematian pohon, HTI, kebun, bangunan, biaya pengendalian dan sebagainya serta biaya yang terkait dengan kabut asap seperti kesehatan, pariwisata dan transportasi.

Dampak Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan yang cukup besar seperti yang terjadi pada tahun 1997/98 menimbulkan dampak yang sangat luas disamping kerugian material kayu, non kayu dan hewan. Dampak negatif yang sampai menjadi isu global adalah asap dari hasil pembakaran yang telah melintasi batas negara. Sisa pembakaran selain menimbulkan kabut juga mencemari udara dan meningkatkan gas rumah kaca.

Asap tebal dari kebakaran hutan berdampak negatif karena dapat mengganggu kesehatan masyarakat terutama gangguan saluran pernapasan. Selain itu asap tebal juga mengganggu transportasi khususnya tranportasi udara disamping transportasi darat, sungai, danau, dan laut. Pada saat kebakaran hutan yang cukup besar banyak kasus penerbangan terpaksa ditunda atau dibatalkan. Sementara pada transportasi darat, sungai, danau dan laut terjadi beberapa kasus tabrakan atau kecelakaan yang menyebabkan hilangnya nyawa dan harta benda.

Kerugian karena terganggunya kesehatan masyarakat, penundaan atau pembatalan penerbangan, dan kecelakaan transportasi  di darat, dan di air memang tidak bisa diperhitungkan secara tepat, tetapi dapat dipastikan cukup besar membebani masyarakat dan pelaku bisnis. Dampak kebakaran hutan Indonesia berupa asap tersebut telah melintasi batas negara terutama Singapura, Brunai Darussalam,  Malaysia dan Thailand.

Dampak lainnya adalah kerusakan hutan setelah terjadi kebakaran dan hilangnya margasatwa. Hutan yang terbakar berat akan sulit dipulihkan, karena struktur tanahnya mengalami kerusakan. Hilangnya tumbuh-tumbuhan menyebabkan lahan terbuka, sehingga mudah tererosi, dan tidak dapat lagi menahan banjir. Karena itu setelah hutan terbakar, sering muncul bencana banjir pada musim hujan di berbagai daerah yang hutannya terbakar. Kerugian akibat banjir tersebut juga sulit diperhitungkan.

Analisis dampak kebakaran hutan masih dalam tahap pengembangan awal, pengetahuan tentang  ekosistem yang rumit belum berkembang dengan baik dan informasi berupa ambang kritis perubahan ekologis berkaitan dengan kebakaran sangat terbatas, sehingga dampak kebakaran hutan sulit diperhitungkan secara tepat. Meskipun demikian, berdasarkan perhitungan kasar yang telah diuraikan diatas dapat disimpulkan bahwa kebakaran hutan menimbulkan dampak yang cukup besar bagi masyarakat sekitarnya, bahkan dampak tersebut sampai ke negara tetangga.

 

Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan

Sejak kebakaran hutan yang cukup besar yang terjadi pada tahun 1982/83 yang kemudian diikuti rentetan kebakaran hutan beberapa tahun berikutnya, sebenarnya telah dilaksanakan beberapa langkah, baik bersifat antisipatif (pencegahan) maupun penanggulangannya.

Upaya  Pencegahan

Upaya yang telah dilakukan untuk mencegah kebakaran hutan dilakukan antara lain (Soemarsono, 1997):

(a)    Memantapkan kelembagaan dengan membentuk dengan membentuk Sub Direktorat Kebakaran Hutan dan Lembaga non struktural berupa Pusdalkarhutnas, Pusdalkarhutda dan Satlak serta Brigade-brigade pemadam kebakaran hutan di masing-masing HPH dan HTI;

(b)     Melengkapi perangkat lunak berupa pedoman dan petunjuk teknis pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan;

(c)    Melengkapi perangkat keras  berupa peralatan pencegah dan pemadam kebakaran hutan;

(d)    Melakukan pelatihan pengendalian kebakaran hutan bagi aparat pemerintah, tenaga BUMN dan perusahaan kehutanan serta masyarakat sekitar hutan;

(e)    Kampanye dan penyuluhan melalui berbagai Apel Siaga pengendalian kebakaran hutan;

(f)    Pemberian pembekalan kepada pengusaha (HPH, HTI, perkebunan dan Transmigrasi), Kanwil Dephut, dan jajaran Pemda oleh Menteri Kehutanan dan Menteri Negara Lingkungan Hidup;

(g)    Dalam setiap persetujuan pelepasan kawasan hutan bagi pembangunan non kehutanan, selalu disyaratkan pembukaan hutan tanpa bakar.

 

Upaya Penanggulangan

Disamping melakukan pencegahan, pemerintah juga nelakukan penanggulangan melalui berbagai kegiatan antara lain (Soemarsono, 1997):

(a)   Memberdayakan posko-posko kebakaran hutan di semua tingkat, serta melakukan pembinaan mengenai hal-hal yang harus dilakukan selama siaga I dan II.

(b)    Mobilitas semua sumberdaya (manusia, peralatan & dana) di semua tingkatan, baik di jajaran Departemen Kehutanan maupun instansi lainnya, maupun perusahaan-perusahaan.

(c)    Meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait di tingkat pusat melalui PUSDALKARHUTNAS dan di tingkat daerah melalui PUSDALKARHUTDA Tk I dan SATLAK kebakaran hutan dan lahan.

(d)    Meminta bantuan luar negeri untuk memadamkan kebakaran antara lain: pasukan BOMBA dari Malaysia untuk kebakaran di Riau, Jambi, Sumsel dan Kalbar; Bantuan pesawat AT 130 dari Australia dan Herkulis dari USA untuk kebakaran di Lampung; Bantuan masker, obat-obatan dan sebagainya dari negara-negara Asean, Korea Selatan, Cina dan lain-lain.

 

Peningkatan Upaya Pencegahan dan Penanggulangan

Upaya pencegahan dan penanggulangan yang telah dilakukan selama ini ternyata belum memberikan hasil yang optimal dan kebakaran hutan masih terus terjadi pada setiap musim kemarau. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain:

(a)    Kemiskinan dan ketidak adilan bagi masyarakat pinggiran atau dalam kawasan hutan.

(b)    Kesadaran semua lapisan masyarakat terhadap bahaya kebakaran masih   rendah.

(c)    Kemampuan aparatur pemerintah khususnya untuk koordinasi, memberikan penyuluhan untuk kesadaran masyarakat, dan melakukan upaya pemadaman kebakaran semak belukar dan hutan masih rendah.

(d)   Upaya pendidikan baik formal maupun informal untuk penanggulangan kebakaran hutan belum memadai.

Hasil identifikasi dari serentetan kebakaran hutan menunjukkan bahwa penyebab utama kebakaran hutan adalah faktor manusia dan faktor yang memicu meluasnya areal kebakaran adalah kegiatan perladangan, pembukaan HTI dan perkebunan serta konflik hukum adat dengan hukum negara, maka untuk meningkatkan efektivitas dan optimasi kegiatan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan perlu upaya penyelesaian masalah yang terkait dengan faktor-faktor tersebut.

Di sisi lain belum efektifnya penanggulangan kebakaran disebabkan oleh faktor kemiskinan dan ketidak adilan, rendahnya kesadaran masyarakat, terbatasnya kemampuan aparat, dan minimnya fasilitas untuk penanggulangan kebakaran, maka untuk mengoptimalkan upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan di masa depan antara lain:

a.   Melakukan pembinaan dan penyuluhan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pinggiran atau dalam kawasan hutan, sekaligus berupaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya kebakaran hutan dan semak belukar.

b.   Memberikan penghargaan terhadap hukum adat sama seperti hukum negara, atau merevisi hukum negara dengan mengadopsi hukum adat.

c.   Peningkatan kemampuan sumberdaya aparat pemerintah melalui pelatihan maupun pendidikan formal. Pembukaan program studi penanggulangan kebakaran hutan merupakan alternatif yang bisa ditawarkan.

d.   Melengkapi fasilitas untuk menanggulagi kebakaran hutan, baik perangkat lunak maupun perangkat kerasnya.

e.   Penerapan sangsi hukum pada pelaku pelanggaran dibidang lingkungan khususnya yang memicu atau penyebab langsung terjadinya kebakaran.

                      III.            PENUTUP

Kebakaran hutan merupakan salah satu bentuk gangguan yang makin sering terjadi. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan cukup besar mencakup kerusakan ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati, merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktivitas tanah, perubahan iklim mikro maupun global, dan asapnya mengganggu kesehatan masyarakat serta mengganggu transportasi baik darat, sungai, danau, laut dan udara.

Upaya pencegahan kebakaran hutan

·         Memantapkan kelembagaan

·         Melengkapi perangkat keras  berupa peralatan pencegah dan pemadam kebakaran hutan;

·         Melakukan pelatihan pengendalian kebakaran hutan bagi aparat pemerintah, tenaga BUMN dan perusahaan kehutanan serta masyarakat sekitar hutan;

·         Kampanye dan penyuluhan melalui berbagai Apel Siaga pengendalian kebakaran hutan;

·         Pemberian pembekalan kepada pengusaha (HPH, HTI, perkebunan dan Transmigrasi), Kanwil Dephut, dan jajaran Pemda oleh Menteri Kehutanan dan Menteri Negara Lingkungan Hidup;

·         Dalam setiap persetujuan pelepasan kawasan hutan bagi pembangunan non kehutanan, selalu disyaratkan pembukaan hutan tanpa bakar.

 

 

Mengapa Kita perlu HUTAN KOTA ?

 

 

Hutan Kota mempunyai beberapa peranan penting di antaranya :

a. Identitas Kota

Hutan Kota dapat menggambarkan identitas kota melalui koleksi jenis tanaman dan hewan yang merupakan simbol atau lambang suatu kota di areal Hutan Kota tersebut.

b. Pelestarian Plasma Nutfah

Hutan Kota dapat dijadikan tempat koleksi keanekaragaman hayati yang tersebar di seluruh wilayah tanah air kita. Kawasan Hutan Kota dapat dipandang sebagai areal pelestarian di luar kawasan konservasi, karena pada areal tersebut dapat dilestarikan flora dan fauna secara ex-situ.

c. Penahan dan Penyaring Partikel Padat dari Udara

Tajuk pohon yang ada di areal Hutan Kota dapat membersihkan partikel padat yang tersuspensi pada lapisan biosfer bumi melalui proses jerapan dan serapan, sehingga udara kota menjadi lebih bersih. Partikel padat yang melayang-layang di permukaan bumi sebagian akan terjerap (menempel) pada permukaan daun, khususnya daun yang berbulu dan mempunyai permukaan yang kasar, seperti daun bunga matahari, waru, Ficus sp., dan kersen. Sebagian lagi akan terserap masuk ke dalam ruang stomata daun. Selain di daun, maka partikel padat ini juga akan menempel pada kulit batang,

ranting, dan cabang.

d. Penyerap dan Penjerap Partikel Timbal dan Debu Industri

Hutan Kota dengan jenis-jenis tanaman yang sesuai mempunyai kemampuan untuk menyerap dan menjerap partikel timbal dan debu industri seperti Pembangunan dan Pengelolaan Hutan Kota (I.Samsoedin dan E. Subiandono)

Hutan Kota Delta Malvinas, Kota Padang semen. Sumber utama timbal yang mencemari udara berasal dari kendaraan bermotor. Jenis-jenis tanaman yang mempunyai kemampuan yang sedang hingga tinggi dalam menurunkan kandungan timbal dari udara adalah dammar (Agathis alba), mahoni (Swietenia macrophylla), jamuju (Podocarpus imbricatus), pala (Myristica fragrans), asam landi (Pithecelobium dulce), dan johar (Cassia siamea). Sedangkan tanaman yang memiliki ketahanan yang

tinggi terhadap pencemaran debu semen dan memiliki kemampuan yang tinggi dalam menjerap (adsorbsi) dan menyerap (absorbsi) debu semen adalah mahoni, bisbul, kenari, meranti merah, kere paying, dan kayu hitam.

e. Peredam Kebisingan

Pohon dapat meredam suara dengan cara mengabsorpsi gelombang suara oleh daun, cabang, dan ranting. Jenis tumbuhan yang paling efektif untuk meredam suara adalah yang mempunyai tajuk tebal dengan daun yang rindang. Dedaunan tanaman dapat menyerap kebisingan sampai 95% (Grey and Deneke, 1978). Dengan menanam berbagai jenis tanaman dengan berbagai strata yang cukup rapat dan tinggi akan dapat mengurangi kebisingan, khususnya dari kebisingan yang sumbernya berasal dari bawah.

f. Mengurangi Bahaya Hujan Asam

Menurut Smith (1985), pohon dapat membantu mengatasi dampak negative Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian, 2007 hujan asam melalui proses fisiologis tanaman yang disebut proses gutasi, yang menghasilkan beberapa unsur-unsur seperti Ca, Na, Mg, K, dan bahan organik seperti glutamin dan gula (Smith, 1981). Menurut Henderson et at. (1977) bahan inorganik diturunkan ke lantai hutan dari tajuk daun lebar maupun daun jarum melalui proses through fall dengan urutan K > Ca > Mg >

Na. Hujan yang mengandung H2SO4 atau HNO3 jika tiba di permukaan daun akan mengalami reaksi. Pada saat permukaan daun mulai basah, maka asam seperti H2SO4 akan bereaksi dengan Ca pada daun membentuk garam CaSO4 yang bersifat netral. Adanya proses intersepsi dan gutasi oleh permukaan daun akan sangat membantu dalam menaikkan pH, sehingga air hujan menjadi tidak berbahaya lagi bagi lingkungan.

Mikroorganisme dan tanah pada lantai hutan mempunyai peranan yang baik dalam menyerap gas ini. Inman et al. dalam Smith (1981) mengemukakan, tanah dengan mikroorganismenya dapat menyerap gas ini dari udara yang semula konsentrasinya sebesar 120 ppm menjadi hampir mendekati nol dalam tiga jam.

h. Penyerap Karbon-dioksida dan Penghasil Oksigen

Hutan (termasuk di dalamnya Hutan Kota) merupakan penyerap gas CO2 dan penghasil 02 yang cukup penting, selain fitoplankton, ganggang, dan rumput laut di samudera. Cahaya matahari akan dimanfaatkan oleh tumbuhan di areal Hutan Kota melalui proses fotosintesis untuk merubah gas CO2 dan air menjadi karbohidrat dan oksigen. Tanaman yang baik sebagai penyerap gas CO2 dan penghasil O2 adalah damar (Agathis alba), daun kupu-kupu (Bauhinia purpurea), lamtorogung (Leucaena leococephala), akasia (Acasia auriculiformis), dan beringin (Ficus benjamina) (Widyastarna, 1991).

i. Penahan Angin

Angin kencang dapat dikurangi 75-80% oleh suatu penahan angin berupa Hutan Kota (Panfilov dalam Robinette, 1983).

j. Penyerap dan Penapis Bau

Tanaman dapat menyerap bau secara langsung atau menahan angin yang bergerak dari sumber bau (Grey dan Deneke, 1978). Akan lebih baik hasilnya jika ditanam tanaman yang menghasilkan bau harum yang dapat menetralisir bau busuk dan menggantinya dengan bau harum, seperti cempaka, dan tanjung.

k. Mengatasi Penggenangan

Daerah yang sering digenangi air perlu ditanami dengan jenis tanaman yang mempunyai kemampuan evapotranspirasi tinggi, yaitu tanaman berdaun banyak sehingga luas permukaan daunnya tinggi dan mempunyai banyak stomata (mulut daun). Tanaman yang memenuhi kriteria tersebut di antaranya nangka (Artocarpus integra), albizia (Paraserianthes falcataria), Acacia vilosa, lndigera galegoides, Dalbergia spp., mahoni (Swietenia spp.), jati (Tectona grandis), kihujan (Samanea saman), dan lamtoro (Leucaena leucocephala).

l. Mengatasi lntrusi Air Laut

Intrusi air laut dapat diatasi dengan upaya peningkatan kandungan air tanah melalui pembangunan hutan lindung kota pada daerah resapan air dengan Pembangunan dan Pengelolaan Hutan Kota (I.Samsoedin dan E. Subiandono) tanaman yang mempunyai daya evapotranspirasi yang rendah.

m. Produksi Terbatas

Hutan Kota dapat ditanami dengan jenis-jenis tanaman yang dapat dimanfaatkan buah, bunga, daun, dan kayunya untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan penghasilan masyarakat secara terbatas.

n. Ameliorasi Iklim

Salah satu masalah yang cukup merisaukan penduduk kota adalah berkurangnya kenyamanan akibat meningkatnya suhu udara di perkotaan. Untuk mengatasi hal itu, Hutan Kota dapat dibangun agar pada siang hari tidak terlalu panas sebagai akibat banyaknya jalan aspal, gedung bertingkat, jembatan layang, dan sebagainya; dan sebaliknya pada malam hari dapat lebih hangat karena tajuk pohon dapat menahan radiasi balik dari bumi (Grey dan Deneke, 1978). Jumlah pantulan radiasi matahari suatu Hutan Kota sangat dipengaruhi oleh panjang gelombang, jenis tanaman, umur tanaman, posisi jatuhnya sinar surya, keadaan cuaca, dan posisi lintang Robinette, 1983).

o. Pengelolaan Sampah

Hutan Kota dapat dimanfaatkan dalam pengelolaan sampah, antara lain sebagai penyekat bau, penyerap bau, pelindung tanah hasil bentukan dekomposisi dari sampah, dan penyerap zat berbahaya yang mungkin terdapat dalam sampah seperti logam berat, pestisida, dan lain-lain.

p. Pelestarian Air Tanah

Pada daerah hulu yang berfungsi sebagai daerah resapan air, hendaknya ditanami dengan tanaman yang mempunyai daya evapotranspirasi yang rendah, dengan sistem perakaran dan serasah yang dapat memperbesar porositas tanah. Jika terjadi hujan lebat, maka air hujan akan masuk ke dalam tanah sebagai air infiltrasi dan air tanah serta hanya sedikit yang menjadi air limpasan. Dengan demikian Hutan Kota dapat membantu mengatasi masalah pelestarian air tanah. Jenis tanaman yang sesuai di antaranya cemara laut (Casuarina equisetifolia), Ficus elastica, karet (Hevea brasiliensis), manggis (Garcinia mangostana), bungur (Lagerstroemia speciosa), Fragraea fragrans, dan kelapa (Cocos nucifera).

q. Penapis Cahaya Silau

Keefektifan pohon dalam meredam dan melunakkan cahaya tersebut bergantung pada ukuran dan kerapatannya. Pohon dapat dipilih berdasarkan ketinggian maupun kerimbunan tajuknya.

r. Meningkatkan Keindahan

Tanaman dengan bentuk, warna, dan tekstur tertentu dapat dipadu dengan benda-benda buatan seperti gedung, jalan, dan sebagainya untuk mendapatkan komposisi yang baik sehingga menghasilkan keindahan.

s. Habitat Burung

Hutan Kota dapat dikembangkan sebagai habitat burung. Beberapa jenis burung sangat membutuhkan pohon sebagai tempat mencari makan maupun sebagai tempat bersarang dan bertelur. Beberapa jenis pohon yang disukai oleh burung karena buah, nektar, bunga, ijuk, dan batangnya yang menarik di antaranya kiara, caringin, loa (Ficus spp.), dadap (Erythrina variegata), aren Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian, 2007 (Arenga pinnata), bambu (Bambusa spp.), dan lain-lain.

t. Mengurangi Stress

Hutan Kota dapat membantu mengurangi stress yang diderita masyarakat kota akibat kerasnya kehidupan kota melalui kesejukan dan keindahan alam yang diciptakan selain adanya kicau burung dan hal-hal menarik lainnya dari Hutan Kota.

u. Mengamankan Pantai terhadap Abrasi

Hutan Kota berupa formasi hutan mangrove dapat meredam gempuran ombak dan dapat membantu proses pengendapan lumpur di pantai.

v. Merupakan Daya Tarik Wisatawan Domestik Maupun Mancanegara

Hutan Kota yang di dalamnya ditanami dengan pohon yang langka dan unik (misalnya bunga bangkai) akan menjadi daya tarik bagi wisatawan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

w. Sarana Hobi dan Pengisi Waktu Luang

Monotonitas, rutinitas, dan kejenuhan kehidupan di kota besar perlu diimbangi dengan kegiatan yang bersifat rekreatif. Hutan Kota dapat merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi masalah tersebut.